Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Aku menutup resleting briefcase hitam milikku dan menutup laci meja. Pekerjaanku hari ini sudah selesai. Masih ada beberapa guru yang belum meninggalkan staff room. Termasuk Lili.
Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat ia berulang kali mengusap rambutnya yang mulai kusut sama seperti wajahnya yang lelah. Aku menaruh kembali tasku dan berjalan ke arahnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tawarku saat sudah berada di sebelahnya.
Dia menoleh dan kembali menatap laptopnya. "Tidak usah, Sir. Sebentar lagi saya selesai."
Aku tahu dia berbohong. Buktinya saja, tangannya diam di atas mouse laptop- seperti sedang berpikir keras.
Aku menunjuk layar, membuat tubuhku agak membungkuk di sebelahnya. "Kau harus memindahkan tabel ini ke sini." Aku menggeser jemariku ke sebelah kiri layar.
Nampak belum sepenuhnya mengerti, akupun meraih mouse miliknya dan mengotak-atik tombol di Microsoft Excel. Ia memerhatikanku menjelaskan cara di sistem komputer. Namun, lama kelamaan aku merasa enggan untuk melanjutkannya sampai akhir karena fokus Lili sudah buyar : ia malah menatapku.
Aku berdiri tegak. "Kira-kira seperti itu," kataku menyudahi.
Lili buru-buru meraih mousenya lagi, lalu mengulang cara yang sama dengan rumus excel yang kuberikan. "Paham sekarang. Trims..." Ia mendongak ke arahku, ada jeda beberapa saat melalui tatapannya. "...Mr. Taylor."
Profesionalitas.
Aku mengangguk dan tidak berkata apa-apa lagi. Tapi instingku mengatakan bahwa Lili terus memerhatikanku sampai aku melangkah meninggalkan staff room.
🎨🎨🎨
Koridor Effingham sudah kosong. Hanya ada seorang petugas kebersihan yang menyapaku di selasar. Aku baru melihatnya, mungkin ia pekerja baru karena usianya terlihat lebih muda dariku.
Aku memindahkan tasku untuk ditenteng di tangan sebelah kiri. Aku sudah membayangkan teh hangat dan sofa di apartemenku, juga selimut sambil menonton series thriller yang belum sempat kuselesaikan akhir pekan kemarin. Aku mempercepat langkah karena ingin cepat-cepat istirahat.
Saat sampai di parkiran dan meraih gagang pintu mobil, kulihat Emma sedang berdiri di gerbang sendirian. Ia menunduk sambil memainkan ponselnya. Rambutnya yang berwarna gelap terurai sampai pinggangnya.
Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Tidak ada siapa-siapa.
Kenapa ia belum pulang pulang jam segini? Ia benar-benar sendirian, seperti sedang menunggu untuk dijemput.
"Sekali-kali tawari dia pulang." Begitu saran Paulina kepadaku.
"Tapi dia selalu dijemput."
"Kesempatan itu ada banyak."
"Tidak mungkin rasanya."
Aku tidak bisa langsung menawarinya kendaraan. Aku berpikir lama sekali-mulai dari resiko bila mengantarnya atau hal-hal lain yang bisa saja membuatku gugup karena terlalu cepat bertindak.
Persetan dengan komentar orang, batinku.
Namun, baru saja aku urung membuka pintu mobil dan hendak menghampirinya-kulihat murid laki-laki berlari terbirit-birit menghampirinya.
Kukira itu Alex. Namun ternyata, setelah mendengar ia berteriak, "Emma, tunggu!" Kutahu itu adalah Sean-seorang murid tahun 11 yang sangat cerdas, berkacamata, dan pernah menyatakan perasannya tanpa malu kepada Emma di lobi sekolah sebulan yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
Lãng mạnWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...