POV. Emma.
Pukul setengah tiga malam.
Ketika semua orang belum terbangun dan tak ada satu hewan pun yang memulai aktivitasnya. Aku masih membaca buku yang direkomendasikan Mr. Taylor saat kami berdua mendiskusikan materi seminar di C'est La Vie.
Pada hari itu, aku dan Mr. Taylor kesana kemari membahas topik apapun. Aku berusaha untuk terus mengarahkan pembicaraan ke tema-tema yang bukan pribadi, kehidupanku, atau hal-hal receh yang tak penting. Maksudku, lihatlah siapa yang sedang aku ajak bicara. Lelaki yang encer otaknya, yang tentu saja tak mungkin aku ajak bergosip atau curhat soal masalah individual. Saat ia meneguk minumannya, aku bertanya bagaimana Mr. Taylor bisa terus konsisten dalam melukis? Dia pun tersenyum sambil menaruh gelas. Di saat itu juga aku baru sadar bahwa ia sering tersenyum padaku akhir-akhir ini. Lupakan, aku langsung menyiapkan telingaku untuk mendengar jawabannya.
"Kenapa memangnya?" tanyanya sebelum menjelaskan.
"Karena Mr. Taylor sudah melukis sejak lama. Dari.. usia 8 tahun 'kan?" Guruku itu mengangguk. "Nah, aku juga suka menggambar. Tapi sulit sekali bagiku untuk terus melakukannya setiap hari. Kenapa selalu harus menunggu ada kejadian bahagia atau menyedihkan dulu baru bisa membuat gambar? Aku juga ingin punya koleksi, sama seperti Mr, membuat tema sendiri, tanpa harus ada embel-embel curahan isi hati."
Mr. Taylor menunjuk sebuah foto berpigura di dekat etalase roti. "Lihat gambar itu. Aku sengaja membuatnya. Pakai pigura kaca, lagi."
Aku menoleh, melihat pigura yang aku tidak sadari memang ada di sana.
"Sekilas seperti tulisan diskon," komenku.
Mr. Taylor berkata, "Padahal itu bermakna, loh. Kau bisa tebak?"
Aku menoleh lagi padanya. Mata hijaunya menungguku menjawab. "Satu persen?" Aku menyipitkan mata, memandangi croissant-ku. Croissant ini enak sekali. Aku harus segera menghabiskannya dan beli untuk dibekal. "Aku tidak tahu," kataku pada akhirnya.
Mr. Taylor tersenyum lagi, dengan mata sleepy eyes khasnya, tetap tajam tapi.. astaga, dia begitu ramah sekarang!
"Itulah yang saya lakukan, Emma. 1% setiap harinya. Sebenarnya 0,01% juga boleh. Ibaratnya gini, kamu suka nulis juga 'kan?" Aku mengangguk. "Kamu bisa menulis satu baris, satu paragraf, atau bahkan satu bab sebuah cerita. Setiap harinya. Secara konsisten. Suatu hari nanti, ceritamu sudah menjadi sebuah novel. Itu bagimu, misalnya." Jelas Mr. Taylor lalu membetulkan posisi duduknya. "Kalau bagi saya, contohnya jika mendapat proyek dari pelanggan dengan tenggat waktu dua minggu. Hari Senin aku bisa memikirkan rancangan idenya. Itu sama saja dengan melakukan sesuatu, 'kan? Hari Selasa aku bisa mulai mencoret-coret kerangka gambarnya. Hari Rabu, sketsanya. Hari Kamis, memilih tema warna. Hari Jum'at, mulai menggambar di atas canvas. Hari Sabtu, Minggu, sampai Rabu saya melukis. Kau tahu, perlu beberapa hari. Sehingga, pada saat pelanggan menunggu lukisannya, luckily, saya bisa menyelesaikannya lebih cepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
RomanceWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...