Di kelas hari ini, Mr. Taylor menjelaskan filosofi lingkaran. Dia berkata bahwa perlindungan dan kekuatan komunitas bisa terlihat di sana. Aku mendengarkan penjelasannya dengan tangan menopang dagu. Aku terus melihatnya melakukan pembicaraan publik dengan totalitas. Ada kekaguman yang tumbuh selagi Mr. Taylor tidak mengeluarkan blooper atau semacamnya. Ia seperti sudah terlatih. Gaya komunikasinya bagus dan membuat kami ingin terus menyimak. Menurutku pribadi, Mr. Taylor adalah tipe guru yang bila kepala sekolah bertanya siapa yang kelasnya paling menarik kepada para siswa, kami pasti akan menjawab namanya. Semua menyukai Ms. March dan Mr. Frederick juga. Namun, untukku Mr. Taylor berbeda. Itu mungkin karena aku menyukai pelajarannya. Kreatifitasku tidak terbatas di sini. Sedangkan di kelas bahasa Inggris Ms. March, pengungkapan jati diriku dituangkan dengan santun melalui kata-kata.
Mr. Taylor melirikku sebelum melangkah ke papan tulis, dan aku belum mengganti posisiku.
Aku tidak sadar bahwa sedari tadi aku memerhatikannya sambil tersenyum.
"Dan semua itu terkumpul di sini." Mr. Taylor memutar gerak tangannya di papan tulis, menghasilkan sebuah lingkaran sempurna dengan spidolnya. Lingkaran sempurna!
Aku ikut bertepuk tangan bersama yang lain. Atraksi yang tiba-tiba dan mencengangkan.
"Bagaimana bisa?" Karina berbisik padaku.
"Aku tidak tahu," jawabku sambil mempraktekan gerak tangan Mr. Taylor.
"Ada yang berminat untuk mengisi lingkaran ini?" tanya Mr. Taylor sambil menutup tutup spidol.
"Mengisi dengan apa, Sir?" tanya seseorang di belakang sana.
"Apa saja. Sesuai naluri dan akalmu."
Teman-temanku mengangguk mengerti. Namun, tidak ada yang bergerak untuk berdiri. Mr. Taylor mengangkat alisnya, menunggu sepersekian detik saat tak satupun murid-muridnya berniat maju.
"Emma," panggil Mr. Taylor membuyarkanku yang tengah sibuk berusaha menggambar lingkaran sempurna di buku.
Aku mendongak. Mr. Taylor sudah menjulurkan spidolnya. Aku mendengar cekikikan di belakangku. Aku berputar dan setengah dari tangan mereka masih menunjukku.
Aku berdiri dengan sedikit jengkel, tapi tidak jengkel beneran. Aku akhirnya sampai di depan papan tulis dan mengukirnya dengan tinta.
"Tidak kelihatan," ujar Ben.
Tubuhku bergerak membelakangi mereka sepenuhnya. Sebelah tanganku melengkung agar Mr. Taylor pun tidak bisa melihat apa yang sedang kulakukan.
"Eh," Ben mendesah, diikuti tawa kecil teman-temanku yang hari ini-telah diberitahu akan ada libur selama tiga hari sebab urusan persiapan program pendidikan-memiliki aura yang lebih positif.
"Sudah," ucapku lalu menyingkir. Tawa kelas seni visual langsung menggema. Aku tahu, mereka tidak menertawakanku. Mereka hanya 'menertawakan'.
Mr. Taylor menatap gambaran lingkarannya yang sudah kububuhi dengan sesuatu seperti emoji; berponi melengkung seperti awan, dua mata, bibir manis tersenyum, dan dua lengkungan sebagai tangan yang mengepal di kedua sisi pipinya.
"Kiyowooo!" Charlotte menjerit, dibalas anak laki-laki yang meledek caranya meniru logat Korea.
"Apa maksudnya?" tanya Mr. Taylor kepadaku.
"Aku terinsipirasi dari rambutnya Lack," jawabku jujur. Semua menoleh pada Lack. Rambutnya bergelombang dan sebagian menutupi hampir seluruh dahinya. Lack tertawa dibangkunya.
"Itu tidak terlihat seperti aku," komen Lack. Kawan-kawannya mengacak poni galingnya.
Mr. Taylor mengangguk. "Bagus, bagus. Silahkan duduk lagi. Terima kasih." Mr. Taylor menyuruhku kembali. Karina menyentuh bahuku sambil tertawa. "Satu poin untuk Ms. Anderson." Mr. Taylor mencatat nilai yang tidak kusangka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
RomanceWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...