The Ending Of The Question

25 4 0
                                    

Aku menikmati permainan itu sampai akhir dan merasa sangat beruntung memilih tidak bergabung. Apalagi menjawab pertanyaan di kartu hitam. Banyak pertanyaan yang sangat beresiko. Contohnya, kesalahan apa yang masih membuatmu menyesal sampai saat ini?

Tidak mungkin aku menjawab, "Dulu aku pernah ikut mengeroyoki salah satu temanku sampai dia meninggal di tangan kami."

Aku bergidik membayangkannya. Ya, sampai saat ini aku berusaha mengenyahkan pikiran bahwa aku adalah pembunuh. Aku sempat ditangkap polisi dan untungnya orang tuaku memiliki jaminan—entah apa—yang membuatku bisa bebas dan ikut ujian kelulusan SMA. Sedangkan teman-temanku yang lain mendekam di sel untuk beberapa waktu.

Aku menatap muridku satu persatu. Wajah-wajah polos yang tidak memiliki pengalaman buruk sepertiku. Di usia mereka saat ini—remaja yang bisa bergerak bebas, fokus dengan pembelajaran di sekolah dan sesekali main bersama sahabatnya. Aku melihat Emma, yang selalu ceria dan baik hati. Aku merasa gadis ini begitu bersih. Sejauh yang kutahu dia tidak banyak keluar rumah, mustahil gaul sepertiku saat dulu. Dan juga Alex, yang kini bercanda penuh tawa dengan Ben, yang sama-sama tidak terlihat macam-macam sepertiku saat dulu. Aku menyadari murid-muridku memiliki jejak yang bagus, tidak ada kasus memenuhi panggilan pihak konseling sekolah, atau mendapat hukuman sampai orang tua mereka merasakan kekecewaan yang dalam karena terancam dikeluarkan. Tubuh mereka tak harus diperiksa untuk menemukan zat berbahaya psikotropika. Atau tangan yang dikotori karena menciptakan lebam di wajah orang lain. Atau juga... dihantui dendam orang-orang menyeramkan di luar sana. Mereka tak hidup dalam ketidaktenangan yang menghancurkan diri sendiri. Mereka hanya remaja yang fokus memainkan permainan Truth Or Honest bersama guru mereka. Mereka bebas bergerak tanpa takut orang Amerika mengenali mereka sebagai orang yang buruk. Dan tentu saja, mereka tidak pernah mabuk dan pergi menghancurkan toko kelontong milik seorang kakek sebatang kara di malam Natal. 

Tidak sepertiku saat dulu.

Barangkali mereka melihatku sebagai seorang guru yang menjalani pendidikan doktoral. Tak sekali dua kali aku mendapati murid di kelasku memuji karena semangatku mendapatkan gelar sarjana yang tinggi di usiaku sekarang. Murid tahun 12 yang sedang mencari bidang keahlian jurusan berkata ingin menjadi sepertiku. Aku hanya bisa tersenyum dan memberikan semangat untuk menggapai tujuan sesuai kehendak hati nurani.

Yang mereka tak tahu adalah aku terus dihantui dengan kesalahan-kesalahan yang mungkin tak termaafkan. Aku tidak mau mengingat runtutan kejadian yang pernah terjadi tujuh atau lima tahun yang lalu. Biarlah mereka mengenalku sebagai Taylor yang memberikan mereka ilmu tentang seni visual. Taylor yang menerima panggilan sopan—Sir—bukan yang memiliki sebutan 'brandalan muda pemabuk dan seniman gila pemarah'.

Aku mengusap wajahku, langsung merasa stress mengingat rekam jejak masa lalu sendiri.

Akhirnya, aku memilih untuk fokus lagi dengan pemandangan di depanku ; murid-muridku dengan tawa mereka yang membuat suasana menyenangkan, kartu Ronan, dan Emma.

🎨🎨🎨

Botol kosong itu berputar dengan rapih di tengah karpet. Setelah beberapa saat mencari target, ujung tutup botol pun berhenti di depan Emma.

"Sedikit deg-degan," kata Emma sembari menunggu Ronan mengambil kartu berwarna hitam.

"Sebutkan rahasiamu yang orang lain tidak ketahui," ujar Ronan.

Semua menegakkan tubuh karena itu adalah pertanyaan yang sangat menarik.

"Berarti statusnya setelah ini bukan rahasia lagi," ujar Emma.

"Betul, itulah tujuan pertanyaan ini dibuat," sambung Ben.

"Aku tahu semua rahasianya," kata Alex bangga kepada mereka semua.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang