Aku tidak pulang ke apartemenku. Di bagasi sudah ada satu tas besar berisi pakaian dan satu koper menampung yang menampung peralatan seniku—kanvas, kuas, cat, buku sketsa, kertas, dan perintilan lainnya. Aku berharap mum senang dengan kedatanganku, dan benar saja matanya langsung berbinar cerah saat aku berdiri di depan pintu rumahnya.
"My lovely son!" Mum langsung mencium kedua pipiku.
Aku menunduk menatapnya, ikut senang karena bisa ikut rehat di sini. "Aku akan menginap beberapa hari. Tidak apa-apa 'kan?" tanyaku. Kami berdua masuk ke dalam rumah yang aromanya selalu bisa membangkitkan kenangan masa kecilku.
"Bertahun-tahun sampai kau menikah juga tak apa, sayang." Mum membuatku terkekeh. Akhir-akhir ini ia lebih sering menggunakan kosakata yang satu itu.
"Hhh... Jangan bilang itu kode," terkaku seraya membuka pintu kamar tengah.
Mum mengangkat bahu. "Aku hanya penasaran, Taylor, sungguh. Setelah kau bekerja di Effingham, adakah guru perempuan yang menarik perhatianmu?" Mum akhirnya bertanya. Nadanya jauh lebih serius. Aku yakin dia sebenarnya ingin sekali menanyakan ini sejak dulu.
Aku berhenti membuka koper dan berpikir. "Tidak ada, Mum."
"Sama sekali?"
Aku yang sedang menunduk mengeluarkan baju-bajuku, berhenti sejenak. Satu wajah terlintas di kepalaku. Kupilih untuk tidak menghiraukannya. "Ya. Tidak ada," jawabku mantap dan melanjutkan kegiatanku.
🎨🎨🎨
Untunglah mum tidak menanyakan apa-apa lagi soal wanita. Aku membantunya memasak makan malam dan bercerita banyak tentang lingkungan kerja. Mum berulang kali berkata ia tidak bisa tidak percaya aku sudah tumbuh begitu cepat.
"Doakan aku agar bisa sukses, mum." Aku menoleh padanya saat tanganku sibuk membolak-balik daging asap.
Mum menuangkan sup dan berkata, "Memangnya mau sukses sampai bagaimana? Kau selalu sukses dimataku, Taylor."
Aku terenyuh dan memandang daging asap yang hampir matang. "Kalau aku menikah dengan wanita kaya raya..." Mum memberikan perhatian sepenuhnya. "Tak mungkin 'kan aku hanya memberinya sepetak apartemenku yang sekarang?"
Bisa kurasakan mum meneliti wajahku. "Kemudian?"
"And then..."
"Kau membeli mobil itu karena memiliki ambisi barukah?" tanya mum. Aku tersenyum getir.
"Aku tidak bermaksud boros—"
Mum mengangkat tangannya. "Tidak, tidak, Taylor. Kau pantas membeli mobil baru. Mobil SUV dad sudah butut sekali. Aku bahkan kagum kepadamu yang tidak malu menjajarkannya bersama mobil mewah para guru di parkiran." Mum selesai menata piring dan ia duduk sejenak. "Akhir-akhir ini aku memang memikirkanmu, Taylor. Aku memang tidak menuntutmu untuk segera menikah. Tapi... Paulina sudah memiliki kekasih dan... sejauh ini... Kau belum menyebutkan satu nama pun. Aku hanya khawatir tentang—"
"Tentang apa?" Aku ikut mendekat ke meja makan dan menyimpan daging asap di setiap piring.
Mum hanya mengangkat bahu dan membuang muka dariku. "Lupakan."
Aku paham mum takut aku tidak menemukan wanita impianku. Dia tahu standarku lumayan tinggi. Beranjak dari tipe pacar rendahanku saat SMA dan kuliah—Laura, misalnya. Lihatlah betapa kacaunya dia sekarang. Aku tidak mau hal yang sama terulang kembali. Value yang kugenggam sudah berbeda. Jauh berkualitas dan tidak main-main.
"Kau tidak perlu khawatir apa-apa, mum. Aku berelasi cukup luas. Tak hanya di sekolah," jawabku berusaha menenangkannya. "Tak harus sesama guru."
Mum tersenyum tipis. "Ya, aku hanya bertanya." Kami terkekeh pelan bersama. Aku ikut menggeser kursi dan duduk bersamanya. Belum sampai aku selesai meneguk air putih, dad dan Paulina pulang.
"Lebih mudah dijemput dad, 'kan?" Mum langsung berujar.
Paulina menggeleng. Wajahnya tampak lelah sekali. "Lebih mudah. Tapi aku takut ditertawakan karyawanku."
"Jadi, sekarang sudah ada yang menertawakanmu?" tanyaku.
"Oh hey Taylor! Tidak ada sih," jawabnya dan melengos pergi menuju kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian.
Aku ingin sekali membelikan Paulina lebih dari yang ia butuhkan. Jika mungkin... Kendaraan. Sejauh ini, aku baru memberinya sedikit uang bekal dan kebutuhan perawatannya. Dia terkadang menolak, tidak mau merepotkan. Tapi aku tidak bisa membiarkannya bergantung pada penghasilan tak menentu dari resto. Biarlah dia merasakan gajiku juga.
Ah, ya Tuhan... Semoga keinginanku untuk membantu finansialnya terus terwujud.
Dad menghampiriku yang langsung kusambut dengan pelukan. "Sehat, anakku?"
"Lebih dari baik, dad. Bagaimana denganmu?"
"Lebih dari baik. Semuanya." Dad duduk di sebelahku.
"Oh, aku lupa sesuatu." Mum langsung beranjak pergi.
Ini kesempatanku untuk bisa berbisik pada dad secara rahasia.
"Je veux te parler, dad. Êtes-vous fatigué? (I want to talk with you dad. Are you tired?)" tanyaku.
"Tentang?"
Aku menunduk, bingung mengucapkannya. Satu pembahasan mum sore ini membuatku jadi berpikir keras dan galau sekali. "Tentang..."
Dad mengangkat alis. "Katakanlah. Kau tahu aku tidak suka menunggu."
"Muridku." Aku menjawab sambil menatap matanya.
Dad yang hendak menyuap roti terpaku. Mulutnya menganga. "Tunggu. Murid apa? Maksudmu?" Dad menegakkan tubuh.
Aku mengedip dua kali. Jelas tersiksa dengan ini. "Muridku, dad."
Dad menghembuskan nafas lewat mulut. Aku menelan ludah dibuatnya. Kukira dad tidak akan menganggap ini penting. Lalu, ia berkata sambil tersenyum miring. "Let's see if my destiny is passed down to you."
Aku melebarkan mata. Cepat sekali dad memahami maksudku. "See you at night."
"When mum sleep."
"When Paulina sleep."
"Two Bordeaux?"
"I've stopped it, dad."
"No way, mon fils. Why?"
"You know why."
"How about coffee?"
"That one too."
"So what do you drink for a living?"
"A bottle of toxic past that keeps on telling me."
Dad dan aku bertos di bawah meja. Sorot matanya menyatakan kengerian akan jawabanku. Aku tidak berkomentar lebih jauh. Aku hanya tak sabar untuk malam segera datang.
Kami resmi menjadi satu tim dan aku tak sabar menceritakan kisahku yang nampak semacam takdir turunan darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
RomanceWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...