Getting Lost In Ball Pressure

25 3 0
                                    

Ms, Florence dan Ms. Ronan mengajakku duduk bersama di ruang santai. Ms. Florence sibuk menggulir layar ponselnya untuk mencari film terbaik versi rotten tomatoes. Ms. Ronan menyediakan kentang goreng hangat di atas piring putih oval, dan Mr. Taylor sedang bersandar di kaki kursi sambil membuka novel Wuthering Heights milikku.

Aku berada di antara mereka dan merasa kecil. Maksudku, perasaan segan yang muncul secara alamiah, meski ketiga guruku ini bukan usia senior dan masih berada satu generasi denganku. Namun tetap saja derajat mereka berada di atasku, dan aku tidak lebih dari anak domba gembala yang masih belajar mengembik.

Ms. Florence mengucapkan beberapa daftar film bagus, dan sebagian di antaranya sudah ditonton Ms. Ronan dan Mr. Taylor. Sedangkan aku selalu mengangguk memberi konfirmasi bahwa film-film tersebut sudah kutonton semua.

"Yang benar, dear?" tanya Ms. Florence.

"Iya, Miss." jawabku. Aku merasa senang dengan panggilan dari para guru—dear dan nak—yang membuatku merasa disayangi seutuhnya.

Mr. Taylor membaca blurb Wuthering Heights. "Berapa banyak buku klasik yang kau punya?" tanyanya.

"Aku menyediakan satu rak khusus untuk buku klasik," jawabku. Mereka bertiga memandangku.

"Favoritmu apa saja?" tanya Mr. Taylor lagi. Ia tampak tertarik dengan pembahasan ini. Begitupun dengan aku. Tidak ada topik yang lebih baik dari membicarakan novel abad 19.

Aku pun menjawab, "Pride and Prejudice, Little Women, The Scarlet Letter, Sense and Sensibility..."

"Anne of Green Gables, Great Expectations, Ms. Dalloway," sambungnya. Gravitasi membuat kedua ujung bibir sang seniman tersenyum.

Lalu kami berdua berkata bersama, "Emma."

Dia mengangguk dan aku menyeringai bahagia atas kegemaran kami yang bergenggaman tangan.

Aku merasakan sensasi mulas yang menggelitik.

Ms. Florence dan Ms. Ronan tercengang. "Selera kalian benar-benar.... vintage."

"Klasik tidak akan pernah kuno. Buktinya saja selera novel-novel itu tidak ditelan waktu," ujar Ms. Florence setelah membuka Netflix di televisi, dan mencari film Cruella atas rekomendasiku.

Ms. Ronan duduk di depanku dan mendorong sepiring kue cokelat yang harum. "Mr. Taylor melukis banyak ilustrasi novel yang dibacanya." Beliau berkata sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku mengangkat kedua alisku dan menoleh ke guru seniku yang sekarang tampaknya sibuk membaca profil penulis. "Termasuk Emma?"

Mr. Taylor menyingkirkan buku dari wajahnya dan menatap Ms. Ronan tajam. "Yang satu itu belum kubuat," jawabnya tanpa memandangku.

Film dimulai, sedangkan Mr. Taylor membaca novel Wuthering Heights dengan serius. Aku sama sekali tidak keberatan. Aku mengambil sepotong kue brownies di sebelahku dan menikmati filmnya.

Disney selalu keren...

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Nama Miller mendominasi panggilan. Ms. Florence menghentikan film. "Kau boleh mengangkatnya dulu. Kami akan menunggu."

"Tidak usah, Miss. Mungkin ini akan sedikit lama. Lanjutkan saja aku sudah nonton, kok," sahutku sambil tersenyum. Ms. Florence mengatakan oke dan aku mengangkat telepon Miller sebelum berdiri.

"Halo,"

"Ada yang ingin kubicarakan." Suara Miller begitu berat, serius, penuh penekanan, dan aku was-was mereka bertiga mendengar nada bicaranya yang mencurigakan. Aku menyingkir dan pergi keluar rumah melalui pintu kaca geser menuju bangku di halaman penginapan.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang