Where Will We Going?

17 4 0
                                    

"But Sir, please. I can't go there. I'd rather wait at the bus stop and visit my cousin," Emma berusaha kembali mencari jalan lain.

Mr. Taylor terus menyetir. Dia tidak menggubris ucapan muridnya.

"Mr. Taylor—"

"Dan menunggu sendirian seperti di sekolah tadi?" Mr. Taylor menghentikan mobilnya di sisi trotoar. Dia menoleh pada Emma. "Kamu pikir saya akan membiarkan gadis sepertimu menunggu taksi tanpa pengawasan? Di sore hari seperti ini? Melihat kamu menunggu jemputan seperti tadi saja sudah membuat saya khawatir. Bagaimana jika ada yang menculikmu? Sopir taksi itu tidak kamu kenal. Sekarang saya bertanggungjawab untuk menjagamu. Pilihannya hanya ada dua—pergi ke rumah Ferrington atau ke rumah orang tuaku."

Suasana di dalam mobil menjadi lengang. Hanya ada suara tik-tok dari lampu mobil yang menyala-nyala.

"Saya tanya, kenapa kamu tidak mau pergi ke rumah Bibi Jade?" Mr. Taylor tidak berlemah lembut. Dia begitu tegas dan to the point.

"Karena aku tidak mau bertemu Tom." Emma menjawab dengan jujur. Ia tatap sang guru lekat-lekat. Mr. Taylor tercenung menerima sorot mata sayu dan tampak lelah itu. "Tapi ada sesuatu yang membuat aku canggung berada di sana. Bukan hanya pada Tom, tapi juga kepada orang tuanya." Emma menunduk menatap jemarinya yang bergetar. "Maaf sudah membuatmu kesal, Mr. Taylor. Dan untuk di kelas tadi. Gara-gara aku teman-teman jadi ribut."

Mr. Taylor melemaskan genggaman stirnya. Ia langsung tersadar bahwa selama seharian ini dia memasang tampang menyeramkan di depan semua orang. Sudah seharusnya dia tidak membawa perasaan pribadinya soal sikap Sean dan segala kefrustasiannya kepada orang lain. Dia tidak boleh mendramatisir kondisi hatinya sampai sejauh ini.

Mr. Taylor mendesah dan menatap ke arah jalan. "Apa aku terlalu keras, Emma?"

Emma kembali menoleh pada gurunya yang tampak tersambar oleh sesuatu entah apa itu. "You seem angry."

Mr. Taylor menggerling padanya. Dia menarik kedua ujung bibir, tapi tidak tersenyum. Lalu, tangannya menyentuh puncak kepala Emma dan tatapannya kini melembut. "Maafkan aku. Hari ini ada sesuatu yang membuatku bad mood seharian."

Emma tidak menepis sentuhan itu. Entah bagaimana telapak tangan hangat Mr. Taylor yang menempel di rambutnya terasa nyaman. Jempol Mr. Taylor lalu mengusap kepalanya. Sang guru menyesal sudah berlaku terlalu kaku pada Emma. Padahal, suasana hati sang gadis pun jauh lebih kacau darinya. Dan yang menimpa Emma adalah masalah serius.

"Ke rumah orang tuaku, ya? Ada Paulina di sana," kata Mr. Taylor sambil melepas tangannya.

"Memangnya tidak apa-apa kalau aku menginap?" tanya Emma. Dia masih tidak enak dengan keputusan ini. Lagipula, itu rumah gurunya. Maksudnya, rumah orang tua gurunya sendiri. Pasti akan sedikit canggung dan Emma yang pemalu takut tidak bisa bersikap dengan baik.

"Tentu tidak apa-apa, Nak. Sudah kewajibanku untuk membuatmu aman." Mr. Taylor langsung mengusap dagunya, merasa aneh setelah mengatakan kalimat tersebut.

"Jika tidak merepotkan, Sir." Akhirnya Emma menurut, walau dengan berat hati.

"Memang kau harus." Dengan cepat—bahkan terlihat semangat—Mr. Taylor melajukan mobilnya lagi agar tidak terfokus dengan atmosfer sesudah ia mengungkapkan kewajibannya agar Emma selalu aman bersamanya.

"Are you hungry?"

Emma tersenyum. "Kinda."

"Let's go to McDonald's, ok? Can you eat junk food?"

"Yeah, but not too often."

"Great."

Mobil Mr. Taylor melaju lebih kencang menuju restoran cepat saji paling populer di kota kecil Effingham. Sesampainya di sana, Mr. Taylor memesan soda dan filet o-fish meal. Ia sempat terpikir untuk membercandai Emma agar memesan paket Happy Meal. Namun, ia urung karena raut wajah Emma begitu sedih dan sedang tidak ingin bercanda.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang