Strange Slumber

17 2 0
                                    

POV. MR. TAYLOR.

"Saudaramu kemana, Emma?"

Emma mendongak dari ponselnya. "Alex masih di kelas, Sir."

"Dan kau sedang menunggu jemputan?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling jalan depan sekolah, mencari jemputan Emma.

Dia hanya mengangguk. Sopan sekali gadis ini. Aku jadi sedikit enggan meninggalkannya. "Boleh aku ikut tung—"

Emma tidak mendengarkan ucapanku sampai selesai. Ia berjalan menjauhi gerbang. Saat di tengah jalan, ia menoleh kepadaku, lalu tersenyum lembut.

"Yes, Sir?" katanya.

Mobil hitam menghantam tubuhnya dari sisi kanan. Gadis itu langsung terpental jauh dan terjatuh dengan bunyi tulang yang menghantam aspal. Semua orang yang ada di sekitarku berteriak histeris. Aku bergeming. Kakiku lemas dan tak bisa digerakkan. Mobil itu berhenti tepat di depanku. Aku melirik perlahan ke arah Emma yang terjerembab.

"EMMAAAAA!!!!" Teriakanku mengalahkan kepanikan di sekeliling. Dengan tenaga yang tersisa, aku mencoba berlari menghampiri jasadnya yang terhalang siswa lainnya. "MINGGIR KALIAN!" seruku sebisa mungkin. Tapi tak ada yang beranjak untuk memberiku jalan. Kudorong anak lelaki dan perempuan, namun tubuh mereka seperti patung, tak mau menyingkir dan tetap diam. Dadaku bergemuruh riuh. Suasana sore yang kacau sekali.

"I SAID GET OFF FUCKHEADS!" Kerongkonganku sampai sakit dibuatnya.

"WHAT THE FUCK ARE YOU SAYIN', TAYLOR?" Paulina menggoyangkan tubuh adikku dengan kencang. Ia menarik lengan kiriku dengan kasar sampai aku terbangun dengan keadaan yang sama kacaunya dengan mimpi tadi.

Mimpi?

"Sis?" gumamku sambil melotot panik kepada kakak perempuanku yang sedang menatap khawatir. Aku pun duduk dan menyingkirkan selimut. Keringat membanjiri seluruh tubuh dan rambutku setengah basah.

Emma? Kenapa aku bermimpi seperti itu?

Rasanya tubuhku lemas sekali. Mimpi itu terasa seperti nyata.

"Kau bermimpi apa, sih? Kau berteriak-teriak seperti orang kesakitan. Kukira kau sleep paralysis atau kejang!" Paulina menyundul lenganku. Aku lupa dia masih ada di sebelah dan menunggu jawaban.

"Aku mimpi melihat seseorang tertabrak," jawabku terbata-bata. Aku tidak mau menyebutkan sosok yang mati di dalam mimpi. Paulina akan menyodorkan ribuan pertanyaan atau asumsi yang aneh-aneh.

"You'd better drink or sleep again." Paulina tampaknya tidak terlalu memedulikan mimpi itu. That's what I should've done too. Paulina menyingkir dan aku menurunkan kaki dari sofa.

Sofa?

Ah, bahkan aku sampai tak ingat sedang tidur di rumah orangtuaku. Itulah kenapa aku heran sendiri melihat ada saudariku dan tidur memakai selimut—aku sangat anti selimut.

Kemudian aku berdiri dengan limbung dan berjalan menuju dapur untuk membawa minum. Saat melangkah saja, aku masih bisa membayangkan bagaimana jelasnya wajah Emma yang tersenyum penuh arti padaku. "Yes, Sir?" Aku menggeleng pelan saat menyeruput air dingin. Tenggorokan keringku kembali sejuk. Namun, tak bisa kusingkirkan bahwa suara itu begitu tajam dalam ingatan.

Kulirik jam dinding. Jam 2 pagi. Paulina mungkin sedang maraton drama sampai begadang di kamarnya. Dan kini aku pun baru sadar bahwa hari ini aku ada jadwal mengajar.

Aku kembali ke sofa dan membuka ponsel. Jujur saja aku jadi sedikit takut jika ada berita buruk yang sampai di grup chat para guru. Untungnya, tak ada apa-apa. Perasaanku jadi gundah. Namun, secepat mungkin rasa khawatir ini berubah menjadi kegembiraan yang muncul dari dalam dada.

Hari ini adalah hari Rabu, jadwal mengajar kelas seni tahun 11. Aku berjanji akan menanyakan kabar Emma saat di kelas nanti. Bagaimana pun caranya....

🎨🎨🎨

Kelas begitu ribut ketika aku berdiri di luar pintu. Aku sedang merapihkan baju mengajarku dan mendesah resah. Di dalam sana, ada gadis yang membuatku semangat pergi ke sekolah hari ini. Ms. March sampai berkomentar aku tampak cerah pagi ini. Meskipun... aku berpikir ada kemungkinan terburuk bahwa Sean duduk sebangku dengannya. Tapi tak apa. Itu tidak menjadi soal jika mereka tidak beromantis ria di depanku.

Aku menegakkan tubuh dan membuka pintu kelas. Suara ramai obrolan para siswa seketika hening. Aku berjalan ke mejaku. "Siapa saja yang tidak hadir hari ini?" tanyaku tanpa menoleh pada anak-anak.

"Tiga orang, Sir."

"Charlotte sakit."

"Nenek Jacob meninggal."

"Kalau Emma kenapa?"

Aku berhenti membuka map presensi. Kudongakkan kepala setelah mendengar percakapan mereka. "Tiga orang?" tanyaku lagi seraya mencari sosok Emma yang biasanya duduk di bangku depan bagian tengah. Tak ada. Hanya ada Ben dan Sean.

"Emma juga sakit." Aku ingin heran dengan Sean yang menjadi satu-satunya orang mengetahui kabar Emma.

"Baiklah. Terima kasih," ujarku, lalu menandai absen untuk tiga orang tersebut.

Aku mulai mengajar seperti biasa. Membuka pelajaran dengan seprofesional mungkin, menerangkan materi baru, memberi tugas, dan menambahkan poin bagi mereka yang aktif di kelas. Setelah itu, kelas selesai.

Aku menyandarkan tubuh di kursi putar, melihat anak-anak kelas 11 keluar. Sean sedang menggendong tas hitamnya sambil menatapku. Saat aku menggerling padanya, dia langsung menoleh ke arah lain.

Ben berdiri dan mengangguk padaku. "Terima kasih, Mr. Taylor."

"Sama-sama," jawabku, namun mataku tidak lepas dari gerak-gerik Sean yang sedikit ganjil. Anak lelaki itu tidak ikut pamit, melihatku saja tidak. Kenapa dia?

Setelah kelas benar-benar sepi, aku membuka laci dan mengeluarkan selembar kertas soal ujian. Bagian belakangnya masih putih bersih. Aku meraih pensil dan mulai menggambar. Inilah yang biasa kulakukan saat bosan. Ya, dan kuakui aku bosan sekali.

Aku mencoba mengingat segala detail yang ada di dalam mimpiku tadi malam. Namun, sekarang yang terlintas hanyalah pergantian adegan yang buram dan samar-samar. Yang bisa kuingat hanyalah suara Emma. Dan suara sedikit sulit untuk digambarkan melalui sketsa.

Mobilnya...

Aku memejamkan mata dan membayangkan bentuk mobil mini bus yang menabraknya. Tidak mudah mengulang kembali secara detail. Namun, aku sedikit mendapat gambaran di sela-sela ingatanku.

Aku mulai menorehkannya di atas kertas. Selama beberapa saat aku bergumul dengan keseriusanku menuangkan apa yang masih menempel. Suara-suara ribut di koridor sama sekali tidak kuhiraukan. Dan tak butuh waktu lama sampai sebuah sketsa memberikan kesimpulan untuk sementara.

 Dan tak butuh waktu lama sampai sebuah sketsa memberikan kesimpulan untuk sementara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tunggu...
Kenapa mobil ini nampak tak asing bagiku?


MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang