"Sometimes Beauty is Pain."

24 4 0
                                    

Another day in Effingham High School.

Sudah seminggu terakhir, guru di Effingham memulai sebuah program baru. Beberapa guru akan ditugaskan untuk menyambut para siswanya di pagi hari dan menyapa mereka satu persatu. Yang bertugas pada hari ini adalah para guru muda, Ms. Ronan, Ms. Florence, Ms. Lili, Mr. Davis, Mr. Frederick, dan Mr. Taylor. Guru-guru muda tersebut tampak bersinar cerah, secerah mentari pagi. Pakaian mereka memang formal, tetapi warnanya menyejukkan mata. Blazer dan jas yang mereka kenakan menjadi perhatian para siswa yang baru datang, sebab mereka semua mengira itu adalah baju kerja yang mahal dan necis.

Sudah lima belas menit mereka berdiri berjajar di dekat pintu masuk sekolah. Sehingga, gerbang yang menunjukkan siswa-siswi yang baru datang terlihat dengan jelas.

"Good morning, Ashley," sapa Ms. Florence pada gadis kelas 10 yang rambutnya dikepang. Siswi itu balas menyapa tetapi lirikan matanya tertuju pada Mr. Frederick. Tentu para guru menyadari hal itu, karena satu-satunya murid yang datang adalah Ashley seorang.

Setelah Ashley pergi, Ms. Florence, Ms. Ronan dan Ms. Lili menertawakan rekan kerjanya itu. Ms. Florence berkata Mr. Frederick memang most wantednya para gadis Effingham. Tetapi sang guru lelaki hanya ikut tersenyum, tidak terlalu perduli dengan bagaimana wajahnya memang terlalu tampan untuk seorang guru olahraga.

Di sebelahnya, untuk pertama kalinya, Mr. Taylor jadi ikut berpikir mengenai bagaimana rupa wajahnya? Apakah ia cukup tampan untuk diidolakan para gadis-maksudnya, Emma? Sebab Ronan pernah berkata padanya bahwa ada tiga anak perempuan kelas 12 yang terdengar sedang mengomentari penampilan para guru di Effingham-di perpustakaan.

Kata Ronan, "Taylor, ternyata kamu masuk ke dalam daftar guru charming di sini."

"Maksudmu?"

"Mereka bilang kalau kamu termasuk guru yang penampilannya rapih dan..."

Taylor mengangkat alisnya, meminta Ronan melanjutkan. "Dan apa?"

"Dan kamu bisa termasuk tampan kalau wajahmu tidak jutek dan terlalu serius." Ronan lupa untuk memikirkan bagian yang satu itu, karena sudah terlanjur juga.

"Hmm." Taylor hanya balas dengan gumaman acuh lalu melanjutkan ke pekerjaannya di laptop. "Aku tidak peduli."

Tapi ia peduli sekarang. Ia tidak bisa menampik pikirannya untuk tetap berpenampilan baik. Bukan hanya soal kerapihan, tapi juga daya tarik, karena sekarang ia punya tujuan lain dan lebih khusus.

"Good morning, Vienna," sapa Mr. Frederick pada Vienna yang tentu saja langsung tersipu. Mr. Taylor melirik koleganya itu. Memang sangat menarik dan tubuhnya berotot. Mr. Taylor jadi berdiri dengan tak nyaman. Tubuhnya memang tidak terlalu seberisi itu, tetapi beruntunglah tinggi badannya tidak begitu jomplang dengan Mr. Frederick.

Setidaknya aku tidak terlalu ketinggalan jauh.

Sebuah mobil mewah hitam berhenti di luar gerbang sekolah. Dua anak kembar tidak identik turun satu persatu dan melambai pada sopirnya.

"Agak lama juga ya kita gak lihat mereka bersama-sama," komen Ms. Florence.

"Iya. Alex selalu bersama teman-temannya. Saya sering lihat Emma kemana-mana sendirian," sambung Mr. Davis. Mr. Taylor menoleh padanya.

"Tapi bukannya teman Emma adalah Charlotte, Kim, George, Ben, Sean?" tanya Ms. Ronan.

"Ya, memang. Emma baru punya teman saat menginap bareng waktu olimpiade," jelas Mr. Davis seolah mengenal Emma begitu dalam. Mr. Taylor memikirkan dua hal, apakah Emma memang jarang punya teman dan kenapa Mr. Davis bersikap ia begitu dekat dengan gadis itu?

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang