Agatha menjatuhkan sebuah gelas. Bunyi kaca yang terpecah belah membuat Emma berlari mendekat.
"Agatha, kau baik-baik saja?" Emma bertanya pada ART-nya sambil melihat ujung jari Agatha yang berdarah.
"Aku tidak apa-apa," jawab Agatha sambil menekan tisu ke luka. "Hey, jangan!"
Emma baru mau membereskan kepingan gelas dan kembali berdiri tegak. Ia pun membiarkan Agatha membawa sapu dan membersihkannya. Ponsel Agatha masih menyala, menunjukkan telepon yang belum terputus.
"Halo?"
Agatha kembali terbirit-birit. "Iya, iya. Aku sebentar lagi ke sana. Tunggu." Agatha menutup teleponnya.
"Apa yang terjadi?"
"Adikku masuk rumah sakit. Ia kecelakaan." Jawaban Agatha memberikan raut panik di wajah Emma.
"Ya ampun. Kau harus cepat pergi ke sana. Biar aku saja yang membereskan," tawar Emma untuk kedua kalinya saat Agatha sangat bergegas menyapu.
"Ini sudah selesai..." Bulir keringat mengalir di pelipis Agatha. Ia memikirkan nasib adik satu-satunya yang dimiliki.
"Jika ada yang bisa kubantu tolong bilang saja." Emma mengekor Agatha ke kamarnya.
"Ada empanadas untuk Nyonya Jade. Tolong panggilkan saja Jeff buat mengantarnya," kata Agatha sambil memasukkan uang ke dompetnya.
Emma berbalik hendak melaksanakan tugas, namun kembali menghampiri Agatha. "Biar aku saja."
Agatha mengalungkan tas selempangnya. "Jangan. Jeff saja."
"Oke," Emma tampak tidak menolak. Ia berlari keluar kamar Agatha.
Agatha mengunci pintu kamarnya—yang sejatinya hanya digunakan untuk beristirahat dan tidak dipakai menginap di rumah Anderson, mengingat ia memiliki keluarga yang harus diurus. Wanita berumur 40 tahun itu meminta izin kepada Albert yang sedang membaca koran.
Asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sejak Emma dan Alex berusia tujuh tahun itu tersentak saat Jeff—satpam baru keluarga Anderson membuka pintu depan mobil untuknya. Di sebelahnya, Emma tersenyum.
"Apa?" tanya Agatha.
"Kau pergi dengan Jeff. Makannya biar aku yang antar," kata Emma. Ia menerima tatapan tajam dari Agatha karena tidak mendengarkan perintahnya. "Aku kangen dengan Bibi Jade. Itu.. sepeda!" Emma menunjuk sepeda yang terparkir di depan garasi.
Agatha membuang nafas, tak bisa memprotes bila itu keinginan Emma untuk bertemu Bibi Jade—saudara jauh yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. "Hati-hati, ya..."
"Kau juga hati-hati," jawab Emma. "Hati-hati, Jeff."
Jeff mengangkat tangannya, hormat. "Siap, Nona muda."
Emma melambai selagi mobil keluar dari halaman rumah. Setelah itu, Emma lari ke dalam rumah untuk mengambil makanan yang disiapkan Agatha. Emma membuka tas makanan tersebut dan mencium aroma empanadas kesukaan Bibi Jade.
Emma begitu bersemangat. Sudah lama tidka bertemu Bibi Jade. Jadi, ia segera keluar rumah dan menaiki sepedanya. Ia membuat Paul—satpam lama rumahnya berdiri memperingatkan.
"Rindu dengan Nyonya Jade atau Tom?" godanya.
"Ha-ha," respon Emma sambil terus melajukan pedal.
"Be careful!" seru Paul dengan suara berat menyeramkan yang terdengar lucu di telinga Emma.
Rindu dengan Bibi Jade atau Tom? Meskipun berusaha menolak, Emma tidak bisa membohongi diri bahwa ia memiliki secuil harapan Tom ada di sana.
Tentu saja. Keluarga Anderson dan Ferrington sudah saling mengenal sejak Miller berusia 17 tahun—usia dimana ia mempelajari banyak hal soal perusahaan orang tuanya bersama Paman Peter. Emma dan Tom adalah teman masa kecil yang bersama-sama meluapkan cinta selama pubertas. Tom menyatakan perasaannya saat Emma kelas delapan. Memang terlalu muda untuk menjalani hubungan selagi Tom sudah masuk tahun pertama SMA. Mereka bertemu di Effingham High dengan Tom menjadi TDC—The Discipline Comission—selama membimbing orientasi siswa baru. Itu adalah pengalaman dan situasi yang tidak akan pernah Emma lupakan selama menjadi murid baru di sana. Termasuk Tom yang patah hati karena Emma terus menerus didekati oleh anak kepala sekolah yang seksi, Edward. Itu adalah alasan puncak hubungan mereka kandas. Ditambah, setelah sebelumnya perlahan retak karena kecemburuan dan rasa tidak nyaman Tom terhadap Emma yang selalu berhasil memikat hati laki-laki lain. Tom menjadi sangat pemarah dan posesif, terlalu banyak menuntut dan perhatian berlebihan. Itu pun membuat Emma seringkali merasa takut dan tidak aman. Tapi, toh Emma pun paham bahwa Tom sering menyalahkan dirinya bukan tanpa alasan—mungkin.... mungkin budi pekerti Emma yang ramah bisa disalahartikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
Storie d'amoreWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...