"Get out," says Mr. Taylor.

29 5 3
                                    

Ini jam 8 malam. Ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku yang sedang membaca novel Paper Towns dengan serius mendongak. "IYAAA," teriakku. Senyumku mengembang lebar. Albert akan menonton film bersamaku malam ini. Aku gembira sekali.

Aku melompat dari kasur, berlari, dan membuka pintu. Menatap seseorang di depan refleks membuat aku terhentak kecil. Tanganku spontan menggenggam gagang pintu dengan erat.

"Sedang apa?" tanya Miller. Ia memakai kaus oblong abu tua. Rambutnya sedikit kusut. Seperti biasa ketika ia tidak sedang berangkat kerja. Matanya menatapku tajam dan dalam.  Entah senyumku kelihatan memudar atau tidak, tapi yang pasti aku mengusahakan diri agar tetap ceria di depannya. Aku terlalu terkejut dengan kehadirannya. Aku belum siap untuk berhadapan dengan Miller.

"B-b-bac.. baca," jawabku. Lidahku tiba-tiba kelu. Tidak bisa bicara lancar. Aku mulai gelisah.

Sejak dulu Miller tidak senang jika aku membaca novel di waktu belajar. Dulu dia selalu bilang, 'Seharusnya kamu mencontoh Alex. Dia mengerjakan latihan soal.' Padahal waktu itu aku juga tahu bahwa setelah Miller menyingkir, Alex melanjutkan main game di nintendonya yang tadi disembunyikan di balik selimut.

"Boleh aku bergabung?" tanya Miller. Leherku masih mendongak memandangnya yang jauh lebih tinggi dariku.

"Bergabung... membaca?" tanyaku takut salah menangkap.

Miller menggeleng. "Menonton film," ujarnya. Tuh, 'kan, aku salah menangkap maksudnya. Ini semakin membuatku tampak bodoh di depannya.

Miller? Ingin menonton film bersamaku? Ini tidak mimpi, 'kan?

Tangan Miller bergerak mengusap wajahku dengan sebelah tangannya. "Boleh, tidak?" tanyanya lagi. Suaranya terdengar tenang. Aku mengerjapkan mata.

"B-b-boleh," kataku.

Miller tersenyum tipis, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia pergi dari hadapanku. Namun, aku bisa menangkap bahwa ketika ia berbalik, sudut matanya menunjukkan sorot yang sedih.

Malam itu, Miller, Albert, dan aku menonton film thriller di ruang tengah rumah kami. Kami menggelar kasur besar dengan selimut. Agatha memasak popcorn caramel. Fransesca bergabung dua puluh menit kemudian. Lalu Robert yang bergabung setelah karakter antagonisnya telah terkuak, dan Alex datang ketika filmnya telah selesai.

"Kamu kemana saja, sih?" Robert melempar Alex dengan popcorn terakhir. Alex menyomotnya dari atas kasur dan memakannya.

"Ah, gak asik. Gak ada yang membangunkanku. Kalian jahat," komen Alex sambil mengunyah. Sikapnya yang menyebalkan tentu membuat kami semua mulai menyorakinya yang mengaku sudah tidur sejak pulang sekolah tadi, dan baru bangun sekarang, jam 10 malam.

"Kamu gak pusing?" tanya Fransesca. Sebagai dokter, dia memikirkan kesehatan Alex lebih dari kami semua.

Alex menggeleng. "Hanya merasa tak hidup," jawabnya lalu berdiri dan mencari sesuatu untuk di makan di kulkas. Kakak-kakakku menertawakan Alex yang selalu bertingkah konyol. Aku juga ikut tertawa, tapi tidak sepenuhnya lepas akibat kalimat terakhir yang Alex sampaikan tadi.

Alex memang anak yang sangat ceria. Hiperaktif. Banyak tingkah. Namun, bagaimanapun juga dia mengidap depresi ringan. Meski ia mengaku padaku telah lebih baik semenjak rutin menjalani terapi bersama Bibi Jade, tetap saja kalimat tadi terdengar seperti indikasi, peringatan akan sesuatu. Karena khawatir, aku pun mengambil gelasku yang kosong dan berpura-pura mengisi ulang minuman dingin, padahal sebenarnya menanyakan maksud kalimat tadi pada kembaranku.

"Ya ampun, Emma. Itu bukan apa-apa. Kalimat kosong saja. Aku tidak benar-benar merasa begitu," jelas Alex sambil mengangkat piring berisi spaghettinya.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang