Motivated

16 2 2
                                    

Dad mengusap-usap dagunya yang lancip. Secangkir kopi di tangannya sudah tidak lagi berasap. Dia tampak terkesan.

"Jadi bagaimana dad?" tanyaku. Aku sudah menceritakan semuanya. Bagaimana tatapanku langsung terpaku saat pertama kali melihat Emma dan tadi dia langsung menyela, "Itu artinya kau jatuh cinta pada pandangan pertama."

"Tapi aku sama sekali belum mengetahui kepribadian aslinya. Untuk melihat akun Instagramnya saja sulit. Seperti tidak ada kehidupan. Benar-benar mati," jelasku sambil mengitari pemandangan di sekitar balkon.

"Itu gampang, Taylor," kata Dad. "Kau hanya harus mencari tahu dengan cara ekstra. Misalnya mengajak mengobrol dengan sering."

"Mudah bagimu karena kau mengajar les privat. Banyak waktu yang bisa kau gunakan dengan mum," sanggahku. Aku memanjangkan lengan bajuku agar menutupi seluruh tangan. Udara malam mulai lebih dingin sekarang. "Sedangkan aku? 20 anak lainnya akan curiga kalau aku terus-terusan berbasa-basi."

"Memangnya kau sudah berbasa-basi sampai mana?"

Aku merapatkan bibir dan menjawab, "Entah sudah berapa kali kalau kelas bubar, aku selalu memanggil Emma agar menghadapku secara empat mata. Kau tahulah, mengada-ngadakan topik soal belajar yang sebenarnya tidak penting-penting amat." Saat mengatakan belajar, aku membuat tanda kutip tak terlihat dengan tanganku.

"Apa lagi yang kau khawatirkan?" tanya dad, sangat membuatku nyaman.

"Penilaian orang lain, tentu saja. Peraturan sekolah. Rumor. Dan yang lainnya. Sekolah ini formal, dad. Aku bisa terkena sanksi kalau sampai berani jatuh cinta." Nada suaraku mulai menggebu. Dad menyadari hal itu dan dia tertawa geli. Aku langsung buru-buru melemaskan bahu agar tidak terlalu banyak tingkah.

"Memangnya jatuh cinta adalah sebuah pelanggaran?" tanya dad skeptis.

Aku mengangguk pelan sekali. "Iya jika situasinya tidak mendukung seperti yang aku hadapi sekarang."

"Aku setuju. Itu tidak mudah." Dad pun menyeruput minumannya. "Kisahku mudah sebenarnya. Ibumu datang dan mendaftar untuk belajar harpha. Kami bertemu seminggu sekali dan kadang aku yang datang ke rumahnya. Mengajar secara privat. Lama kelamaan kami sering membicarakan hal-hal di luar musik. Ternyata, ibumu bukan hanya cocok menjadi murid. Tapi juga nyambung kalau mengobrol banyak hal. Itu yang membuatku semakin yakin aku tertarik dengannya. Yang aku ingin tanyakan adalah... kau yakin Emma pun cocok bila posisinya bukan sebagai murid? Kau paham maksudku, 'kan?"

"Sepemikiran, dad. Aku sering memikirkan soal itu. Aku takut aku hanya menyukainya sebagai murid saja. Dia baik sekali bila di kelas. Sesuai apa yang diidamkan guru. Hanya saja masalahnya itu tadi—aku ingin mengenalnya lebih jauh. Penasaran dengan bagaimana dia bersikap bila bukan dalam konteks hubungan antar warga sekolah. Bisa saja kami berdua tidak cocok, 'kan? Tidak satu visi misi," jelasku. Dad mengangguk setuju.

"Cocok menjadi murid belum tentu cocok menjadi istri," kata dad terang-terangan. Dia mengatakannya saat aku menyeruput teh. Tentu saja aku hampir tersedak.

"Aku memang mencari pasangan untuk diajak menikah, dad. Tapi tolong jangan sevulgar itu mengatakannya!" seruku tak terima. Dad hanya tertawa menanggapi reaksiku yang tidak bisa menutupi keterkejutanku.

"Mum tahu soal ini?"

"Aku hanya pernah menyebutnya sekali. Dan sepertinya dia tidak terlalu mengganggap serius soal ini. Paulina juga tahu. Ronan juga."

Dad mendelik. "Di awal pembicaraan tadi, kau bilang hanya sedikit orang yang tahu karena kau takut akan tersebar rumor! Ronan—dia bisa dipercaya?"

Aku pun menjelaskan bahwa Ronan  adalah sahabatku. Aku bisa memercayai mereka sama seperti aku memercayai Paulina. Tidak peduli apa tanggapan mereka soal ini di belakangku. Tetapi, aku yakin mereka pun hanya mengganggap ini bercanda saja. Makanya mereka senang menggodaku soal Emma.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang