I Can't Even Hate Anyone.

18 3 0
                                    

POV. THIRD PERSON.

Seorang guru seni yang kini wajahnya terlihat jauh lebih sehat dan tubuhnya mulai sedikit berisi baru saja menyerahkan tumpukan kertas yang sudah dijilid rapih di atas meja Principal Grazer. Setelah menaruh laporan rancangan pembelajaran selama satu tahun, ia mengeluarkan tarikan nafas lega.

Principal Grazer memakai kacamatanya sambil setengah tersenyum. Dia membuka halaman pertama dengan teliti, lalu kedua, dan seterusnya. Mr. Taylor masih berdiri di sana, menunggu respon bosnya.

"Well well it's attractively designed. I'm surprised you even decorate the table with colors according to the difficulty level of the class activity." Principal Grazer menutup buku itu dan memandang Mr. Taylor yang menjulang di depan mejanya. "Aku selalu terkesan dengan pekerjaanmu, Mr. Taylor."

Mr. Taylor menundukkan kepala dengan rendah hati. Kepuyengannya selama tiga minggu terakhir selesai sudah. "Saya akan sangat menunggu kritik dan saranmu."

Principal Grazer mengangguk. "Saya dan bagian academic dean curriculum akan mengecek lebih jauh. Jika program kegiatan kelasmu diterima, kau akan bisa melanjutkan untuk tes akhir menuju certified teacher. Good luck, Mr. Taylor. Saya berharap banyak pada Anda."

Mr. Taylor menunduk sekali lagi dan mengucapkan terima kasih. Dia pun menarik pintu ruangan dengan tanda nama Principal Office menempel di bagian atasnya. Lelaki itu membetulkan dasi hitamnya dan berjalan menuju koridor sekolah. Hatinya begitu gembira mendengar hasil kerjanya lagi-lagi meraih kabar baik.

Hari ini dia hanya memakai kemeja putih dengan dasi hitam dan celana hitam formal. Tidak terlalu bergaya tapi dia berjalan dengan percaya diri, tegap, dan terlihat jauh lebih rupawan. Mungkin itu karena perawatan wajah yang ia lakukan akhir-akhir ini dan juga rutin pergi ke gym walau baru 3 kali dalam tiga minggu. Alkohol sudah tidak ia sentuh lagi. Kopi pun tidak terlalu sering seperti dulu. Pola hidup dan makannya menjadi jauh lebih sehat. Mr. Taylor menjadi lelaki usia dewasa tengah yang berhasil memerhatikan dirinya sendiri dengan teratur.

Dia pun memilih untuk menaiki tangga alih-alih elevator. Toh hanya satu lantai menuju koridor kelas.

Saat sampai di lantai jajaran kelas, dari kejauhan, ia melihat ada seorang murid yang berdiri di depan pintu kelas seni. Seorang perempuan yang tampak mengintip dari celah-celah pintu yang terbuka tipis sekali. Perempuan itu tampak hendak masuk tapi ragu-ragu.

Mr. Taylor mengira itu adalah murid baru. Namun, saat mendekat ia bisa melihat ada tas berwarna cokelat di punggungnya dan rambut berwarna gelap yang menjuntai sampai ke atas pinggang.

Mr. Taylor tahu siapa pemilik tas cokelat itu.

Lelaki itu mempercepat langkahnya. Seakan tak sabar untuk melihat siapa perempuan berseragam Effingham yang terlambat masuk kelas.

"Emma?" Mr. Taylor berjalan mendekat. Gadis itu menoleh ke belakang. Rambutnya bergerak anggun saat kepalanya menghadap lelaki itu.

Sang guru langsung terpana dengan betapa rapihnya Tuhan memahat wajah seorang Emma Carol Anderson. Jantungnya terasa melompat di tempat, dan bagian perutnya seperti ada yang berjingkrak-jingkrak senang.

"Mr. Taylor." Emma balas menyapa.

Sang guru langsung kikuk, ia seharusnya memanggil gadis itu dengan panggilan Ms. Anderson. "Ms. Anderson—kau sudah sembuh?"

"Puji Tuhan sudah, Sir. Umm.. Awalnya aku tidak akan masuk hari ini tapi di rumah bosan sekali," jelas Emma. Gadis itu bisa menangkap bahwa pupil hijau Mr. Taylor melebar. Ia bisa saja menyangka sesuatu, bahwa sang guru terlihat... sangat sumringah saat berbicara dengannya.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang