Laura's Decision

19 4 4
                                    

Mr. Taylor baru saja menyelesaikan pesanan lukisan untuk dikirimkan ke Toronto. Tangannya menempelkan perekat sekali lagi pada kotak dus agar paket ini aman diterbangkan ke negara lain. Setelah mengunjungi jasa pengiriman logistik, ia pun mengendarai mobilnya menuju sekolah.

Seiring berjalannya waktu, Mr

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seiring berjalannya waktu, Mr. Taylor semakin tampan. Aku tahu ia memang tidak semenarik Mr. Frederick yang berhasil membuat para gadis langsung menoleh saat ia lewat. Tetapi, Mr. Taylor memiliki aura yang lain. Aku tidak tahu apakah teman-temanku merasakannya atau tidak. Karena tidak pernah ada yang membahasnya. Dia lelaki yang sangat cerdas. Aku sering membayangkan bagaimana otaknya bisa menampung banyak pekerjaan sekaligus. Aku—

"Hey! Lagi nulis apa?!" Alex yang sebenarnya sedari tadi sudah ada di belakang Emma akhirnya menepuk pundak adiknya. Tentu saja Emma menutup diarynya dengan suara yang kencang.

"Kau membuatku kaget!" seru Emma. Alex hanya tertawa menanggapinya lalu ikut duduk di bangku taman. "Jangan suka mengintip diary orang lain, Alex."

Alex kembali tertawa. Dia puas jika sudah membuat Emma kesal. "Aku tahu apa yang kau tulis," kata Alex sambil menggerakkan alisnya berulang kali. "Mau aku bocorkan atau rahasia?"

Emma melebarkan matanya. Dia memeluk diarynya dengan erat. "JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA!" kata Emma seraya menendang kaki kakaknya.

"Aduh!" Alex mencoba menghindar. "Mentang-mentang sudah masuk karate lagi jadi main fisik gini."

Tidak berhenti sampai di sana, Emma mencubit pipi Alex dengan kencang. "Jangan. Bilang. Siapa-siapa."

"IYAA!! IYA! LEPAS!" Alex mengusap pipinya yang memerah sambil meringis. Kini dia menyesali perbuatannya. "Tapi ada syaratnya."

"Apa?" tanya Emma. Entahlah, dia sangat khawatir ada orang lain yang tahu soal apa yang  ia tulis tadi. Meskipun ia tahu Alex tidak akan mungkin memberitahu seluruh murid Effingham melalui speaker sekolah. Alex memang jahil,tapi dia tidak jahat.

"Belikan aku funko Avengers." Alex menaikkan dagunya, menantang Emma. Dia sengaja membuat jebakan yang akan menguntungkan dirinya sendiri.

Emma mengernyitkan wajahnya. "Loh? Kok aku jadi korbannya? Pemerasan ini namanya."

Alex mengangkat bahu dan menatap taman. "Ya terserah kamu, sih." Alex menoleh pada Emma. "Cuman aku jadi tahu kau mulai suka juga dengan guru muda itu."

"Aku tidak menyukainya, Alex. Aku hanya—"

"Hanya apa?" Wajah Alex menyebalkan sekali.  Mata biru terangnya meminta jawaban pasti dari mata cokelat gelap Emma. Dia puas sekali memojokkan adiknya seperti ini.

"Hanya kagum dengan kecerdasannya. Tidak lebih," jawab Emma.

"Masa?" Muka Alex ingin sekali Emma tonjok sekarang juga.

"Memangnya kau akan bilang sama siapa?" tantang Emma balik.

"Sean," kata Alex mantap. Dia tidak perlu memikirkan target mana yang akan ia beritahu lebih dulu.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang