Third Person
"Siapa itu?" Emma menggenggam lengan Alex di depan pintu rumah. Miller mendongak saat melihat kedua adik bungsunya pulang sekolah.
"Hei, kalian. Sini," panggilnya seraya menggerakkan tangan.
Alex masuk lebih dahulu, pandangannya tertuju pada seorang wanita dengan blazer hitam dan tas mahal duduk di ruang tamu mereka.
Wanita itu berpakaian rapih, tampak elegan namun agak angkuh dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Hai, kids. Aku Fiona," kata wanita itu, barulah ia menurunkan tangannya.
"Hai," sahut Emma manis.
"Hai," Alex menjawabnya dengan datar.
"Fiona adalah rekan dari perusahaan Paman Peter. Dia datang ke sini untuk membicarakan rencana pembangunan kami," Miller berujar di sofanya.
Emma mendengarkan ucapannya, namun Alex membuang muka. "Ya, apapun bisnis itulah. Aku mau mandi." Alex melenggang tak peduli.
Emma berdiri canggung di ruang tamu. "Aku izin mengganti pakaianku dulu, Miss." Ia sedikit membungkuk untuk memberi hormat kepada tamu.
Fiona mengangguk paham, tapi matanya tidak bisa berbohong bahwa ia kesal dengan anak laki-laki yang ia anggap tak beretika itu.
Emma menutup pintu kamar pelan-pelan, lalu mendesah. Ia merasakan hal tidak enak semenjak pertama kali melihat wanita itu. Ia berpikir apa penyebab Alex terlalu menunjukkan rasa tidak sukanya?
Knock knock knock!
Emma membuka pintu. Miller berdiri di sana. Rupanya, wanita karir bernama Fiona itu sudah pulang.
"Can I come in? There's something to talk about," kata Miller. Emma menelan ludah. Raut wajah serius dari kakak laki-laki itu membuat jantungnya agak berdebar.
"Boleh... Tapi aku harus ganti baju dulu," ujar Emma.
"Panggil aku jika selesai." Miller menyingkir dari pintu.
Emma bergegas membersihkan diri. Ia berganti pakaian menjadi sweatshirt hangat berwarna cokelat, warna kesukaannya. Ia mengintip dari balik pintu. Punggung Miller yang lebar duduk membelakangi di sofa ruang TV. T-shirt putihnya mencetak otot di kedua lengannya. Emma termenung beberapa saat. Ia berpikir apa yang akan dibicarakan Miller dengan wajah seserius itu?
Emma adalah tipe adik bungsu manis yang senang membuat hati orang senang. Sedangkan Miller adalah anak pertama yang penuh keseriusan yang mendalam; kaku, pemarah, galak, tegas, dan lidahnya terkadang setajam katana. Tapi Emma tahu, Miller berhati lembut. Keadaanlah yang membuatnya keras seperti itu.
Miller dan Emma tidak pernah semenyatu yang dipikirkan tipe adik kakak cocok dan dekat satu sama lain. Seandainya bisa, bila Miller sedikit demi sedikit memperbaiki keadaan hubungan internal mereka berdua.
"Miller," panggil Emma.
Miller menaruh ponselnya di saku celana trendynya. Dan sebelum ia berdiri, ia memejamkan mata seraya mengatur lengannya yang entah kenapa, merinding saat mendengar suara Emma memanggilnya.
Emma duduk di kasurnya, memeluk guling sebagai tanda aman untuk dirinya.
Miller menutup pintu. Emma semakin was-was, sepenting dan serahasia inikah obrolannya?
"Aku tidak suka basa-basi. Kau masih terapi dengan Bibi Jade?" tanyanya, menghadap Emma.
"Sudah tidak. Baru selesai bulan lalu," jawab Emma.
"Kenapa?"
"Kurasa aku sudah baik-baik saja." Ada jeda yang canggung setelah itu.
Miller mengusap matanya dan berkata lagi, "Jadi, anxiety itu sembuh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
RomanceWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...