C'est La Vie

30 6 0
                                    

Paulina mendaratkan nampan berisi dua bagel dan cappucino. Celemek hitamnya masih sangat bersih—menjadi bukti yang jelas bahwa Mr. Taylor dan Ms. Lili adalah pelanggan ketiganya hari ini.

"Trims," ujar Ms. Lili sambil meraih bagel yang wanginya menenangkan penciuman.

"You're welcome. Welcome." Paulina mengapit nampan di lengan. "Kalau ada pesanan lagi panggil saja aku. Kalian bebas berteriak."

Ms. Lili terkekeh canggung. Paulina meninggalkan mereka berdua, menuju dapurnya untuk menyiapkan adonan lain—walau ia tahu mungkin saja Taylor adalah pelanggan terakhirnya.

Paulina tidak bisa menahan kesedihan melalui lelucon 'kalian bebas berteriak'. Restoran Perancisnya sepi sekali. Belum ada pelanggan banyak, bahkan ketika papan diskon di kaca resto diperbesar. Ia melepas celemeknya. Antara pesimis akan dapat pelanggan, atau optimis tidak akan mendapat kunjungan lain.

Mr. Taylor tidak menyentuh bagel kesukaannya. Sedangkan Ms. Lili begitu menikmati sambil membersihkan ujung bibir setiap selesai menggigit.

Mr. Taylor menatap keluar resto. Jalanan begitu sepi. Ia tidak mau menambah suasana sepi restoran kakaknya dengan berlama-lama menunggu Lili makan.

"Jadi, apa rencana kalian?" tanya Taylor, berhasil membuat Lili berhenti mengunyah.

"Oh," Lili menaruh setengah bagelnya. Dia sengaja memperlambat makannya. Ia segan dengan tatapan mematikan Taylor. "Kami tidak ada rencana. Aku mundur."

"Mundur apa maksudmu?"

"Taylor. Percaya padaku. Aku sudah tidak lagi berteman dengan Laura. Aku berhenti bergaul dengan mereka. Laura tahu itu."

Taylor tidak berkedip. Matanya memandang lurus ke mata Lili. Mencari-cari gerak-gerik kebohongan. "May I know why?"

Lili menunduk. "Hh. Kau tahu kenapa. Aku... Aku terjebak. Pergaulan mereka tidak berubah sejak kita kuliah. Mereka masih sama seperti dulu. Mabuk dan membuat kesenangan semu. Itu semua membosankan. Aku sudah lelah. Lagipula, aku memiliki tanggungjawab sekarang."

Taylor mendengus. "Sadar?" tanyanya. Nadanya terdengar menusuk Lili secara perlahan. Ia meremas tisu di tangannya.

"Ya, Taylor. Aku sadar seorang guru tidak seharusnya bergaul dengan orang-orang yang menghancurkan diri mereka sendiri," jawab Lili.

"Aku tidak mendapati Laura mengirim banyak pesan kepadaku. Kemana dia?" Taylor sudah sangat penasaran dengan pesan-pesan Laura yang hilang begitu saja sejak tiga minggu yang lalu. Menghilang tanpa jejak. Pesan-pesan ancaman untuk Taylor tidak pernah terkirim lagi. Itu membuatnya lega sekaligus heran.

Lili menggeleng. "Aku tidak tahu. Mungkin dia muak karena tidak direspon olehmu. Ah, dan aku pun sempat memberikan pandangan padanya soal dirimu."

"Aku ingin tahu apa yang kau katakan. Jika ada sesuatu yang sebenarnya tidak ada, aku bisa menegurmu sekarang." Ucapan Taylor tidak main-main. Jujur, Taylor sudah sangat muak dengan permainan Lili yang sering berkata bohong sejak mereka kenal di SMA. Sudah sulit mempercayai wanita itu. Taylor takut Lili mengatakan hal-hal yang berlebihan. Parahnya, hal yang sebenarnya tidak ada.

Lili memalingkan wajahnya. "Seburuk itukah aku dimatamu, Taylor? Aku sudah berjanji tidak akan pernah berbohong lagi! Aku sudah cukup tertekan dengan semua kesalahanku! Aku sudah menyadari bahwa aku belum cukup pantas menjadi guru bagi murid-muridku. Murid-murid kita! Aku selalu memberikan pelajaran kejujuran kepada mereka sedangkan sekarang aku tengah dipojokkan oleh rekan kerjaku karena aku terkenal sebagai—" Lili tidak melanjutkan kata-katanya. Cap Lili The Pretty Liar sejak SMA membuatnya terus dihantui reputasi yang buruk.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang