Aku baru saja menyelesaikan rapat untuk Middle Test semester ini. Aku menutup buku note hitamku saat Principal Grazer menepuk bahuku dengan pelan.
"Saya gembira Anda benar-benar kembali, Mr. Taylor," katanya. Aku menjawab dengan senyum dan ikut berdiri.
"Terima kasih, Sir. Saya bersyukur diberi kesempatan untuk berada di sini," jawabku dengan jujur. Aku memang sangat bersyukur karena setelah mengambil cuti mengajar untuk menyelesaikan strata dua, Effingham membawaku kembali menjadi guru dengan pengetahuan dan kemampuan yang jauh lebih berkembang.
"Jika Anda memerlukan bantuan pintu ruangan saya selalu terbuka," ujarnya ramah.
Aku mengangguk dan berterima kasih kepadanya sekali lagi. Aku hendak pergi, namun langsung berbalik ke meja karena pulpenku tertinggal di sana. Tepat saat itu, Mr. Davis yang duduk di seberang meja rapat menatapku dengan tatapan sinis dan tak suka. Aku hanya bisa berpaling dan tidak merespon apa-apa.
Aku berjalan menuju mejaku sendiri di ruang staff guru. Pikiranku belum lepas dari sorot mata Mr. Davis yang seolah menggambarkan bagaimana perasaannya terhadapku. Asumsiku berkata bahwa ia merasa tidak senang saat Principal Grazer berbicara denganku. Sejak awal aku kembali mengajar lagi tiga bulan yang lalu, sikapnya memang agak berbeda dengan guru-guru lain. Entahlah. Aku mengira ia takut tersaingi.
Aku duduk di tempatku, menggeser kursi agar lebih dekat ke meja. Aku membuka laptopku untuk mengerjakan administrasi guru yang sudah diperintahkan kepala sekolah. Sambil menunggu untuk menyala, kulihat Ms. Lili menghampiriku sambil membawa setumpuk berkas lain.
"Sayang sekali, tampaknya kita akan lembur hari ini," ucapnya sambil menaruh tiga buku berjilid biru transparan.
"Apa ini?" tanyaku seraya meraih buku paling atas dan membukanya.
"Contoh rencana pembelajaran penuh untuk tahun ini," jawabnya. "Mr. Phillip membagikannya untuk kita berempat."
Mr. Phillip adalah kepala departemen pelajaran seni. Beliau sangat ambisius dan perfeksionis. Sebagai staffnya, aku, Mr. William, Ronan, dan Lili; guru seni yang mewakili seni rupa, seni musik, seni tari, dan suara-terkadang harus mengerjakan tugas dengan ekstra di kantor sekolah selain mengajar di kelas-kelas. Apalagi Mr. William yang juga mengemban sebagai guru konsentrasi matematika terkadang lebih terbebani dengan tugasnya.
"Oke," jawabku. Lili masih belum beranjak dari hadapanku. "Thanks."
Ia pun akhirnya mengangguk. "Semangat ya." Lili pergi dari mejaku, aku menatap punggungnya yang tertutup blazer cokelat.
Lili adalah teman SMA-ku. Dulu kami sering beradu akting di panggung klub teater. Tiba-tiba, aku teringat dengan ia yang menyimpan foto Emma dilacinya beberapa hari yang lalu. Aku ingin berbicara kepadanya soal itu. Karena aku yakin ini ada hubungannya dengan Laura.
Aku membuka ponselku sambil meliriknya yang sedang berbicara bersama Ms. Kim.
Aku menunggu waktu yang tepat, sampai ketika ia duduk di tempatnya, aku mulai mengirimkannya pesan.
Taylor
Boleh aku bicara?Lili tampak melirik ponsel dan mengambilnya.
Lili
Bicara apa?Taylor
Aku masih penasaran kenapa kau menyimpan foto Emma.Lili menatapku, aku menatapnya dari tempatku. Ia buru-buru mengetik.
Lili
Entah kau akan percaya padaku
atau tidak.
Tapi jujur saja Laura yang
meminta fotonya.
Aku tidak mau memberikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
RomanceWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...