DAY 2 - "Don't Judge Me."

32 3 0
                                    

EMMA POV

Aku masih terbaring di atas ranjang empuk berwarna putih tulang. Mataku masih terpejam, lalu kurentangkan tangan dan mengerang, memanjakan sendi dan otot agar tidak kaku. Kemudian aku membuka mata seraya tersenyum. Hatiku begitu senang mendapati diri terbangun berada di ruangan yang berbeda-tidak di Effingham, dan tidak di kamar.

Ya! Aku masih di sini!

Aku menoleh ke kanan, Hikaru sedang memainkan game di ponsel dengan headset pink besar bertelinga kucing di kepalanya. Jelas anak itu tidak menyadari aku sudah bangun.

Aku duduk, merapihkan rambut dan barulah Hikaru tersadar. "Hi, Imma! Bagaimana tidurmu?"

"Cukup nyenyak, tapi badanku pegal-pegal dan... masih agak ngantuk sebenarnya," jawabku lunglai.

Hikaru mengangguk dua kali dan membetulkan posisi headsetnya. Aku berdiri, berjalan ke kamar mandi untuk gosok gigi dan cuci muka, lalu mengajak Hikaru untuk pergi sarapan.

"Aku nanti, deh. Sedang malas gerak. Kau duluan saja. Sepertinya orang-orang juga belum mulai makan," ucap Hikaru sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

Aku mengangguk dan keluar kamar. Aku tidak mendapati orang-orang berada di lantai atas. Kuturuni tangga dan keramaian langsung masuk ke dalam telinga. Pemandangan di bawah begitu ramai. Tampaknya, teman-temanku sudah menerima masing-masing rice bowl atau sereal beraroma menggoda di tangan mereka.

"Good morning!" Ben menyapaku di sofa ruang tengah. Sapaan yang sangat hangat dan bersahabat.

Yang jarang kudapatkan ketika di rumah...

"Morning, Ben," jawabku langsung segar.

"Nice sleep, Emma?" Joe, anak laki-laki sejarah kelas 9 bertanya.

"Huuuuuu!" Teman-teman seangkatannya bersorak mengejek.

"Aku salah?" Joe terheran, sementara aku terus melangkah menuju meja makan.

"Sini." Alex menepuk kursi kosong di sebelahnya. Aku pun bergabung bersama Grace, Kim, Percy, Ms. Ronan, Mr. William, Mr. Michelle, dan Mr. Taylor-aku sempat berbalas kontak mata dengannya. Aku tersenyum seperti kepada semua orang di sana-namun, Mr. Taylor hanya mengangkat alis singkat sambil melanjutkan makannya.

Duh, jutek sekali...

Walau begitu, aku tidak pernah menyesali keramahanku pada Mr. Taylor, meski guru tersebut sering membalas senyumku dengan raut datar, dan seringnya tidak tersenyum sama sekali.

Mr. Taylor memakai hoodie navy dan jeans berwarna lebih gelap. Rambut bergelombangnya tidak memakai pomade seperti saat mengajar. Ia terlihat jauh lebih muda ketika tidak ada nuansa jas dan outfit formal di tubuhnya.

Aku mengambil sendok sup dan tiba-tiba teringat pertemuan dengan Mr. Taylor ketika di jembatan Effingham Road. Waktu itu, Mr. Taylor sangat gaul dan penampilannya berhasil memukauku. Kacamata hitam dan sepasang sneakers. Wajar, aku tidak pernah melihatnya seperti itu sebelumnya.

Merasa ada yang memerhatikan dari arah depan, diam-diam kulirik guruku yang sedang sibuk mengunyah roti panggangnya dengan garpu. Aku langsung buru-buru memalingkan pandangan lagi. Sebab Mr. Taylor-lagi-lagi-sedang menatapku lurus, dengan tatapan sukar diterka, seperti kemarin hari saat di restoran hotel.

Tidak biasanya Mr. Taylor menatapku seperti itu. Aneh, semenjak kami ke sini, sikapnya terasa jadi kurang ramah kepadaku. Awalnya, aku terus menolak perasaan ini karena ingin berpikir yang baik-baik saja. Padahal, saat lomba ke pameran bersamaku kala dulu, dia begitu ramah dan bersahabat. Tapi entah kenapa sekarang ia menjadi sosok yang nampak kaku. Dan bisa kurasakan... ini berlaku hanya kepadaku saja.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang