Cotton candy strands of soft hair.
Smell flowers in the land of dreams.
Charming eyes full moon Christmas Eve.
Sweet soul, warms my cold body.
Did not expect, an angel at school in little Effingham village.Mr. Taylor masuk ke dalam staff room dengan membawa setumpuk kertas visual art. Tubuh tingginya semakin terlihat menjulang karena kini ia berdiri berdampingan dengan makhluk kecil yang sedang mendongak dengan susah payah.
"Well hello..." sapa Mr. Taylor melihat ada anak perempuan berusia dua tahun berdiri di sisi meja kerjanya. Anak bermata biru itu mengangkat tangannya untuk melambai, lalu berlari riang menghampiri Mrs. Wheeler. "Your child." ujar Mr. Taylor, terkesan dengan kehadiran anaknya.
"Tadi dia naik ke mejamu. Maaf sudah membuatnya berantakan," kata Mrs. Wheeler sambil menggendong anaknya.
Taylor melihat mejanya tidak seberantakan itu. Mrs. Wheeler telah membereskannya. Anak perempuan itu bernama Myah. Ruang staff room dihiasi pujian gemas kepada anak bungsu Mrs. Wheeler.
Taylor melirik jam tangan tepat ketika bel terakhir berbunyi. Tanpa aba-aba, pintu terbuka lebar. Murid-murid yang akan mengikuti lomba akademik berbondong-bondong masuk dan langsung menghampiri Ms. March.
Taylor bersedekap di mejanya. Matanya mengikuti setiap anak yang masuk ke dalam ruang guru. Perwakilan dari tahun delapan sampai sebelas hadir di sana.
Sean, Paul, Carter, Charlotte, Meghan, Kim, Farrah, Hikaru, Ben...
BRAKK!
Tubuh Alex terpelanting menabrak pintu ruang guru. Limbung seketika. Semua orang menoleh ke arahnya sambil ber-ooh ngeri. Alex kini mengusap-usap lengan kiri, mengernyit linu.
"Hey hey, ada apa?" tegur Mr. Davis, merasa terganggu dengan keributan singkat itu.
Alex menunjuk seseorang yang datang, masih dengan wajah menahan nyeri. Emma masuk membawa wajah yang berbanding terbalik dengannya—datar dan sebal.
Mr. Davis berniat akan menegur lebih jauh. Namun, ia menutup mulut saat tahu siapa yang mendorong Alex. Ia pun fokus ke laptopnya lagi.
Emma menatap Alex sinis. "Puas, kau."
"Adik tidak tahu diri! Heh!" Alex berjalan cepat mengikuti Emma. "Mr. Taylor," sapa Alex membungkuk selagi melewati meja sang guru seni.
Mr. Taylor hanya mengangkat alis sebagai jawaban.
Di tengah ruang guru, Alex menarik rambut Emma, yang langsung dibalas dengan cubitan di sisi perutnya. Mereka bertengkar layaknya apa yang biasa mereka lakukan.
"Alex... Emma..." Ms. March menunduk di balik kacamata bulan separo. Emma dan Alex berdiri tegak, tidak lagi saling beradu lengan. Teman-temannya hanya menoleh penasaran dan menjadikan itu sebagai bahan tontonan.
Ms. March mengumumkan teknis lomba besok. Setelah dua minggu mereka semua bergelut dengan latihan soal, kini sampailah pada ketegangan 24 jam menuju perang.
"Paham semua?"
"Paham, Miss!"
Mr. Taylor menutup layar laptop setelah mengecek surel dari dosennya. Di depannya, Ben berdiri seraya menggenggam lengan tasnya dengan cemas. "Sir, bagaimana jika aku gagal?"
Mr. Taylor mencondongkan tubuh. "Harusnya yang kau tanyakan itu, 'bagaimana jika aku berhasil'?"
Ben menggerakkan pipinya yang chubby, seperti sedang berkumur. "Tapi bagaimana jika kemungkinan terburuk yang terjadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
RomanceWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...