Hari yang kutunggu. Aku tidak bisa tidak menahan senyum di wajah saat menatap cermin. Sudah lama aku tidak memerhatikan penampilanku. Aku baru sadar bahwa wajahku memang sedikit berminyak tapi tidak samoai berjerawat. Syukurlah kulitku—meski jarang disentuh perawatan wajah dalam bentuk apapun—tidak menunjukkan masalah apa-apa.
Namun tadi malam, aku sengaja datang ke kamar Paulina dan meminta masker paling cocok untukku. Dia punya banyak. Tentu saja saat aku meminta, dia langsung menertawakanku, "Tumben sekali mau melakukan perawatan."
Dan pagi ini, wajahku nampak lebih cerah dan tidak kusam. Kuoleskan pomade ke rambut bergelombangku yang mulai sedikit gondrong. Kusemprotkan parfum milikku yang isinya sudah sedikit lagi. Aku memakai sweater berwarna biru navy dengan kemeja biru muda dibaliknya—tentu saja dengan dasi hitam yang terlihat atasnya. Aku mengambil tas kerja berwarna hitam. Mum baru membelikannya untukku beberapa hari yang lalu. Tidak bermerek, tapi cukup bergaya dan lumayan keren.
Aku siap untuk berangkat. Mobil hitamku baru kucuci sehari setelah aku mengobrol dengan dad. Dia tampak mengkilap dan mempesona.
Aku belum pernah merasakan getaran dalam dadaku seriang ini saat melihat gedung sekolah mulai muncul. Aku menggenggam stir dengan erat. Rasanya setiap detik yang baru adalah kabar gembira.
Setelah parkir dan keluar dari mobil, aku tahu para siswa bisa menangkap aura cerah dari dalam diriku. Yang aku pribadi sadari, mereka tersenyum meski dari kejauhan. Melihat anak-anak memakai seragam jas hitam mereka, aku langsung memuji dalam hati.
Aku mampir ke ruang guru sebentar. Ada Ms. Lili yang langsung menyapa pertama kali saat aku menyimpan tas di mejaku.
"Kau tampak bersinar, Mr. Taylor." Aku tahu dia memerhatikan penampilanku.
Untuk menghargainya, aku pun melihat pakaian yang ia kenakan. Rambut pirang terangnya bergaya gelang, chignon. "You look stunning today, Miss."
Lili tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya tersenyum dan buru-buru membawa map didekapannya menuju ruang kepala sekolah. Dahiku sejenak berkerut melihat tingkah lakunya yang... bisa kuterka.. terlihat geer.
🎨🎨🎨
Sekarang jam 9:14 pagi. Aku terus menatap jam dinding di seberang kelas. Berharap anak kelas 11 A akan masuk dengan cepat dan pembelajaran kami berjalan dengan lambat.
Hingga datanglah Ben dengan keceriaannya yang sungguh memukau. Dia menyapaku dengan sebelah tangan terangkat atas-atas. Lalu, disusul anak-anak lain yang berbondong-bondong duduk di bangkunya masing-masing. Seperti biasa, kelompok anak yang menyukai pelajaranku duduk paling depan; Ben, Sean, dan yang lainnya. Sedangkan anak kepala sekolah itu—Edward—karena sedari awal senang mendebat apa yang kubahas, dia selalu duduk paling belakang.
Jam 9:15.
Begitu cepat mereka masuk. Aku mendongakkan kepala sesaat setelah mengecek silabus hari ini. Kulihat Karina yang duduk dibangku depan bagian tengah, baru saja meminta Charlotte untuk duduk di sebelahnya.
Loh?
Perasaanku jadi tidak enak.
Aku berdiri dan meminta kelas untuk diam. "Siapa yang tidak masuk hari ini?"
"EMMA, SIR!"
Rambut kaku berpomadeku jadi layu. Aroma wewangian di bajuku seakan tidak tercium lagi. Aku sudah menyiapkan baju terbaik. Tas baru. Semalam suntuk menyiapkan permainan menarik. Materi hari ini tentang sejarah karya-karya kontroversial dunia. Aku tidak mau mereka bosan mendengar presentasiku.
I've prepared everything.
And she isn't here right now."Kenapa?"
"Sakit, Sir. Sudah dua minggu dia tidak masuk," jawab beberapa di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
عاطفيةWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...