Lelaki bertubuh kekar menatap sendu halaman rumahnya sendiri melalui jendela kamarnya. Baju kaos oblong abu yang ia pakai sudah basah oleh keringat dingin, tetapi tidak tembus karena kain yang dikenakan berbahan mahal.
Para karyawan di kantor mengatakan ia adalah most wanted semua wanita, baik usia matang maupun yang jauh lebih muda darinya. Tidak ada yang lebih mengagumkan dari sesosok lelaki menawan yang memiliki jabatan tertinggi di perusahaan besar dengan kekayaan yang tak ada habisnya, rumah besar seperti bos mafia, dan sikap yang bijaksana lagi berwibawa. Jasnya selalu harum. Langkahnya tegap tanpa takut. Meninggalkan tatapan meleleh dari setiap orang yang melihatnya.
Miller Burskovsky Anderson. Usianya hampir kepala tiga lebih satu tahun. Pandangan masyarakat terhadapnya nampak seperti bayang-bayang fiksional. Semua yang ia punya dan dapatkan seolah hanya terjadi di dunia khayal. Kesempurnaan yang publik lihat hanya membuat Miller gembira sementara. House yang ia miliki semegah kekuasaannya. Tetapi Home yang ia punya sekecil kebahagiaan sejatinya.
Miller tidak pernah menangis. Pamannya sampai berkata ia berhati tangguh—atau malah terlalu keras?
Ia mulai mengepalkan tangannya, ingin berteriak sekencang-kencangnya, dan menghancurkan semua yang ada di ruang kamarnya. Hanya saja ia sudah berlatih untuk menahan emosi dengan terapi kontrol amarah bersama Bibi Jade. Memalukan memang, tapi kepada siapa lagi ia meminta tolong akan jiwanya yang macam bara api yang sulit dipadamkan?
Sayang, ketika berdebat sampai bertengkar dengan Albert kemarin, ia tidak bisa menahan amukannya lebih lama lagi. Hingga pada saat Emma datang, tangannya pun mulai bergerak liar.
Miller bingung setengah mati. Ia tidak membenci Emma, sungguh. Bahkan ia senang melihat adik bungsunya tertidur dengan mata terlelap dengan bulu mata yang lentik. Dia hanya merasa bahwa Emma adalah pemicu paling utama amarah Miller terluapkan. Ketika bertahun-tahun yang lalu, jika Emma ada di dekatnya, Miller merasa jengkel setengah mati. Ia tidak bisa menutupi ekspresi tidak sukanya pada gadis itu. Jika Emma berbicara padanya, Miller berpikir ia sedang berbincang dengan seseorang yang telah merenggut kebahagiaannya—mum, dad, dan keluarga kumplit yang terpenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Semenjak ada Emma, hidupku berubah dan membebani diriku sendiri, pikirnya.
Apalagi jika Emma berbuat salah. Atau... berbuat sesuatu yang padahal bukanlah sebuah kesalahan, pasti Miller akan jauh lebih murka.
Miller mendesah berat. Matanya terpejam. Kepalanya menunduk. Wajah Emma selalu terbayang di benaknya. Miller telah membuat gadis itu menderita dengan perlakuannya sejak dulu dan ia tahu itu.
Miller terluka. Emma juga terluka. Dan ialah orang jahat yang telah membuat gadis itu trauma.
Miller tidak memiliki ibu dan ayah. Begitu juga Emma, yang sama sekali belum pernah memandang wajah atau sentuhan kulit mereka.
Miller ingin menghentikan perasaan rumit ini pada saudara kandungnya sendiri. Sekali lagi, ia menyayangi gadis itu lebih dari apapun. Ia ingin melindunginya dari para lelaki jahat yang bisa menyakitinya secara mental dan fisik. Dan Miller sepenuhnya sadar bahwa ialah lelaki yang jahat itu. Maka dari itu, ia menjauhi diri dari Emma dan tidak pernah berada dekat dengannya. Padahal, tatapan penuh harapan Emma pada Miller adalah kasih sayang yang ingin diluapkan. Emma ingin memeluk Miller sama seperti ia memeluk Albert. Emma pun mau mengobrol lama dengan Miller sama seperti ia melakukan percakapan dengan Robert. Emma pun mau bercanda dengan kakak tertuanya itu, sama seperti ia tertawa dengan bebas bersama Alex.
Tahun lalu ia sudah mencoba bunuh diri karena terlalu lelah dengan segalanya. Dan ia tidak mau dihantui dengan perasaan ingin mati seperti itu. Bibi Jade berkata setiap orang yang menderita pasti memiliki afeksi terendah dalam hidupnya, yakni ingin mengakhiri semuanya melalui kematian. Untunglah ini bukan gangguan yang menuntut Miller untuk benar-benar melakukannya. Ia masih bisa hidup. Ada banyak keluarga yang ia punya, adik-adiknya yang secara emosional tidak terlalu terikat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
RomansWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...