Last Night in Farnham

28 3 0
                                    

Alex menyandarkan punggungnya ke kulkas. "Kau terlihat sedang bahagia," katanya. Aku menegakkan tubuh selagi memotong-motong daging sapi untuk dipanggang malam ini. "Jatuh cinta?"

Irisanku meleset. Daging yang kupotong berbelok. "Hah? Enggak. Memangnya aku terlihat begitu?"

Alex mengedikkan bahu. "Kelihatannya..." Ia pun menatap keluar jendela, dimana halaman kecil di sebelah kolam renang dipenuhi orang-orang yang tengah menyiapkan tempat untuk barbeque party.

Aku memindahkan daging-daging itu ke piring dengan sarung tangan plastik dan berbicara pada kakakku. "Aku merasa sedikit lebih baik setelah berbicara banyak pada Sean. Tapi itu bukan berarti kami menuju hubungan khusus." Aku teringat pernyataan Sean, 'kalau kau menolak, jadi teman juga sudah lebih dari cukup'. Jadi aku tidak berharap banyak padanya.

Alex melirikku penuh tanda tanya. "Aku penasaran, deh. Setelah yang kau alami selama hidupmu, atau dari caramu memandang dunia—maksudku, prioritasmu saat ini—kau sedang membutuhkan seorang yang memberi perhatian lebih tidak, sih?" Aku diam, mencerna pertanyaan Alex yang berat untuk langsung kujawab dalam sekali tarikan nafas. "Yeah, selain kasih sayang dariku. Kau tahu, di luar perhatian bratc'ya (brothers)?"

Alex menyadari kehadiran Mr. Taylor dan langsung mengubah privasi obrolan kami menjadi bahasa Rusia. Aku melirik sang guru dengan perasaan campur aduk. Beliau meraih sekantong penuh arang dari meja. "Ada pemantik api?" tanyanya pada Alex.

Alex meluruskan badan. "Oh, aku melihat George membawanya keluar tadi."

Beliau mengangguk. "Oke." Mr. Taylor kembali keluar tanpa menatapku.

Aku mendengus gusar karena sikap Mr. Taylor yang seolah tidak mengetahui keberadaanku. Alex mengerutkan kening. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Dan sekarang pertanyaanku jadi bertambah," kata Alex. Aku sampai menyimpan lagi piring beef setelah memastikan panggangan di luar belum siap.

"Kenapa aku mendengus kasar seperti itu?" terkaku. Alex melipat tangannya dan mengangguk.

"Apa aku ketinggalan cerita? Kita sudah lama tidak membicarakan pria itu." Telunjuk Alex diam-diam mengarah ke pintu yang tadi dilalui Mr. Taylor.

"Tidak ada masalah sebenarnya," ungkapku. Aku pun menceritakan kegusaranku tentang bagaimana sikap Mr. Taylor berubah dalam beberapa hari terakhir. Aku mengaku tidak pernah merasa melakukan kekeliruan di kelas, dan saat aku meminta keterangan padanya, "Snachala on sobiralsya rasskazat' mne. No kogda prishel Shon, on dazhe ne otvetil. (At first he was going to tell me. But when Sean came, He didn't even answer)."

Alex menjentikkan jarinya. "Nah, itu! Itu masalahnya! Apa kau tidak mengerti, Emma? Sejak dulu aku sudah memberitahumu! Etot uchitel' vlyublen v tebya! (This teacher has a crush on you)!" Alex nampak jauh lebih bersemangat.

Aku nyengir kaku. "Kau masih kekeh?"

"Tentu saja! Aku 'kan laki-laki. Mudah menebaknya," kata Alex. Ia mendekat padaku. "Aku pernah menyukai seorang gadis. You know—Annie. Saat aku berada di dekatnya atau dia ada di sekitarku, aku jadi super cuek dan enggan saling tatap. Aku tak tahu kenapa. Mungkin itu sindrom yang belum ditemukan saat sedang mengagumi seseorang. Memangnya dulu dengan Tom kau bersikap biasa saja?"

Aku berpikir keras. "Aku sih lebih sering menghindar untuk berbicara dengannya. Tapi kalau bisa berdialog rasanya menyenangkan sekali." Aku tak sadar tersenyum mengenang, tapi langsung  mengatupkan bibir lagi.

Alex terkekeh menyadari kelakuanku. "Nah, itu paham. Seseorang akan lebih cuek di depan orang yang disukainya. Itu karena batin mereka bergejolak, Emma."

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang