Aku tidak lagi menemui anak-anak setelah sampai di penginapan. Kecuali Ben, yang sengaja kuhampiri empat mata untuk melembutkan tatapan agar anak itu tidak merasa bersalah. Ya, aku juga memang merasakan kecanggungannya selama bersepeda tadi. Dia sedikit menghindar. Maka dari itu, tadi aku memberikan ungkapan apresiasi yang berhasil membuat Ben merasa membaik, dan prasangkanya bahwa aku marah karena ia belum memenangkan lomba salah besar.
Aku sedang diam di paviliun penginapan. Seperti biasa, ada sebuah buku besar tebal di meja, secangkir minuman—yang kali ini adalah teh hangat—dan sebuah laptop yang membuka di pahaku.
"Taylor," panggil Ronan, yang sebelah tubuhnya berada di belakang pintu.
Aku menoleh. "Ya?"
"Kau sibuk?"
Aku melirik laptop, lalu kembali kepadanya. "Tidak juga. Aku mencari-cari kesibukan—sedang memeriksa tugas terakhir dari Profesorku di kampus."
"Sedang mood untuk bertemu orang?"
Aku mengangkat bahu. Jelas aku sedang tidak mau diganggu dan tidak ingin berkumpul di lantai bawah bersama yang lainnya.
"Oh, ayolah, kawan. Tutup laptopmu sebentar. Di sini dingin, lebih baik kau masuk dan menghangatkan diri bersama kita," lanjut Ronan.
Aku menjawab, "Ngapain?"
Ronan mendekat dan berkata dengan pelan, "Aku ada permainan seru dengan anak-anak."
Aku menatapnya. "Aku tidak mungkin main permainan anak-anak."
"Bukan itu maksudku," sanggah Ronan. "Kau mau Emma mengira kita pacaran?"
"Maksudmu?" tanyaku sambil mengernyit.
"Ikut aku ke bawah."
🎨🎨🎨
"My dears..." Ronan sampai di tangga bawah sementara aku mengekor di belakang, melambatkan langkahku di tangga.
Ronan sedang mengajak dan mengumpulkan anak-anak yang sedang melakukan kegiatan masing-masing. Semua orang tersebar di lantai satu.
Kudengar ada tangisan tersedu-sedu dari ruang tamu. Kepalaku sontak menoleh, ada Emma, Samantha, dan grup para gadis sedang mengelus tangan Grace yang menangis.
"Ada apa?" Ronan menghampiri mereka, yang jaraknya tidak jauh dari tempatku berdiri.
"Grace baru saja diputusi pacarnya," jawab Samantha.
"Oh," Ronan duduk di dekat Grace setelah Emma menggeser. "Kalau sudah nangisnya kita berkumpul, yuk."
Grace mengusap matanya sedih. "Sudah, Miss."
Aku memasukkan tangan ke dalam saku celana, menuruni tangga terakhir dan menghampiri Mr. William yang sibuk di depan laptopnya di meja makan.
"Sir?" Aku pun duduk di seberangnya.
"Mr. Taylor. Sudah mengerjakan tugasmu?" tanyanya.
"Done, Prof."
Mr. William melirikku penuh arti, aku terkekeh kecil mengenai rahasia kecil yang tidak diketahui murid kami—Mr. William adalah salah satu dosenku di kelas doktoral seni Effingham University. Itulah mengapa hubunganku dengannya jauh lebih erat dan dekat dibanding guru lelaki yang lainnya. Beliau adalah senior kolega di sekolah sekaligus seorang akademisi hebat yang perlu kuhormati di kampus.
"Mr. Taylor," panggil Ronan saat aku baru saja hendak mengambil sekeping biskuit cokelat. Aku berdiri sambil memasukkan makanan ke dalam mulut, mengambil beberapa potong lainnya, dan ikut berkumpul dengan beberapa murid yang sudah duduk di karpet ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
Любовные романыWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...