Sean's Questionable Decision

28 4 0
                                    

"Sudah packing buku-bukumu?" Paulina mengusap sofa yang sudah dibungkus rapi di dalam apartemen adiknya.

Taylor keluar dari kamar dan menutup pintu dengan kaki di belakangnya. "All done, sis." Ia menaruh dus berisi buku, perintilan hiasan, jam, patung kecil, dan sebagainya di dekat sofa.

"Aku tidak menyangka kau harus keluar dari kota ini," Bibir bawah Paulina bergetar. "Jangan bosan mengunjungiku di resto."

Taylor menggaruk janggutnya dan menjawab dengan malas. "Iya, iya. Sudah gak usah lebay begitu. Mending sekarang kau bantu aku menelepon pegawai logistik."

Paulina menendang kaki adiknya. Taylor mengaduh dan menyentuh lututnya yang langsung linu. Kakak perempuannya, yang baru saja memotong rambutnya menjadi segi pendek, mengambil ponsel dan menelopon logistik.

"Mereka akan datang 10 menit lagi," kata Paulina setelah berbincang beberapa saat dan mematikan ponselnya. "10 menit untukmu mengenang ruangan ini."

Taylor mengangguk. Ia memasukkan tangan ke saku celana. Badannya bergerak perlahan dari kiri ke kanan, memandangi apartemennya yang akan ia tinggalkan sore ini juga.

🎨🎨🎨

Alex baru selesai mencuci piring, ia dihukum Albert karena main game sampai jam 3 subuh. Ia mengambil panci yang sudah dibersihkan dan memukul-mukulnya dengan spatula.

"EMMAA PUNYA PACAAAAR!"

Teng! Teng! Teng!

Emma yang sedang video call bersama Sean membahas buku baru JK Rowling tentang natal, langsung berlari keluar kamar dan balas berteriak.

"BERISIIIIIK!"

Teng! Teng! Teng!

"ALBERT! EMMA PUNYA PACAR!" Tunjuk Alex pada Emma yang masih menggenggam ponselnya. Dari belakang, Albert mengambil ponsel itu dan berjalan menjauh ke ruang tamu. Selagi berjalan, Emma mencoba merebut ponselnya.

"Albert! Jangan diambil!" Emma menggapai-gapai.

"Tidak. Aku mau bicara dengan lelaki itu," kata Albert sambil tetap jalan.

Sean bergeming di layar. Ia duduk dengan tegak. Tangannya mulai gemetar. "Well hello, buddy. Apa benar kau pacarnya Emma?" Albert bertanya pada Sean. Emma berdiri di sebelahnya dengan gelisah.

Sean mengangguk pelan. Kacamatanya agak miring dan ia membetulkannya. "Um—y.. yeah, Sir. Aku.."

Albert mengangkat tangannya. "Jangan tegang begitu. Kita ngobrol santai aja."

Sean mengangguk. Albert menurunkan ponsel Emma dan berbisik pada gadis itu. "Dia yang dapat juara umum kelas 10 itu ya?"

Emma mengangguk.

"Siapa namanya?"

"Sean," jawab Emma. Alex menahan tawa saat mengintip mereka. Emma mendengus melihat kembarannya.

"Oke, Sean." Albert mengangkat ponsel Emma lagi. "Sore ini kau sibuk tidak?"

"T-tidak, Sir. Aku free..." Sean begitu tegang, ia sampai sulit berbicara dengan lancar.

"Oke. Aku mau kita ketemu di sini, ya. Di rumah Emma. Jam 3. Bisa?"

Sean mengangguk dengan cepat. "Ya. Ya, bisa. Aku akan bersiap-siap."

Albert tertawa keras. "Ya ampun. Ini baru jam 10, Sean."

"Tak apa, Sir," jawab Sean, ikut lega karena Albert tertawa.

"Baiklah. See you," kata Albert dan melambaikan tangannya santai.

Telepon pun mati, padahal Emma belum selesai berbincang dengan Sean soal buku JK Rowling itu. Albert memberikan ponselnya pada Emma dengan tatapan yang sulit diartikan.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang