Anderson House

33 5 0
                                    

Tidak ada yang lebih indah dari rintik air hujan di malam hari. Ketenangan jiwa yang ditimbulkan jutaan tetes air ikut mengalir dalam kepalaku. Hujan adalah waktu yang kutunggu. Namun, sayang sekali akhir-akhir ini hujan tidak turun sesering itu. Jadi, aku memutuskan tetap memutar audio hujan dari ponsel untuk menemaniku mengerjakan tugas.

Ini jam 10 malam. Miller ada di rumah. Aku tidak tahu apakah Miller ingin meminta maaf atau tidak kepadaku. Atau... Apakah dia masih terhalang keegoisannya untuk memperbaiki hubungan kami, seperti dulu ketika kami ada masalah berdua. Miller bukan orang yang mudah meminta maaf, setahuku. Terkadang aku mendapati Miller merubah sikapnya menjadi jauh lebih baik untuk membetulkan kesalahannya, dibandingkan terang-terangan berkata maaf kepadaku. Maksudku, sikap pemarahnya memang tidak pernah berubah—kukira sudah berubah. Tapi asumsi itu dihancurkan sejak kejadian  kemarin.

Aku memegangi kepalaku yang tiba-tiba pusing. Memori buruk saat aku dipukuli habis-habisan karena memecahkan guci kesayangan mum ketika umur 12 tahun muncul begitu saja. Miller selalu bertindak kasar, tapi tidak semena-mena seperti menyuruhku sebagai pembantunya. Aku menggeleng cepat sambil meremas kepalaku. Aku memiliki kakak laki-laki yang bisa memenuhi semua kebutuhan hidupku. Tapi, tidak dengan kesehatan psikisku. Aku yakin, mum dan dad pasti berharap Miller bisa menggantikan posisi mereka sebagai orang tuaku. Terkadang aku ingin mengadukan Miller ke makam mum dan dad tapi aku tahu itu bisa saja membuat mereka bersedih. Walau secara naluri, aku sadar mereka melihat apa yang terjadi di rumah ini dari atas sana.

Aku menutup buku. Cukup sudah belajar malam ini. Aku terlalu lelah karena mengingat kejadian lama—trauma masa lalu—hal yang tidak ingin kurasakan lagi tapi nyatanya aku rasakan baru-baru ini.

Sulit sekali menyembuhkannya dengan perjuangan sendiri. Aku tak tahan dengan tekanan Miller, seolah dia adalah prajurit algojo yang dikirim untuk menyiksaku, fisik dengan tangannya dan psikis dengan ucapannya yang menusuk hati. Maka dari itu, aku sempat terkena anxiety disorder. Aku selalu cemas bila berada di dekatnya. Aku pun selalu mendapati diriku gemetar bila melihat soal matematika. Ya, karena beberapa tahun silam, Miller sedang stress berat dengan quarter life crisis-nya  dan semakin kesal saat melihat nilai matematikaku selalu C, bahkan di bawah dari itu. Berbeda dengan Alex yang genius dalam berhitung. Dia membanding-bandingkan kami hanya karena si matematika sialan itu. Semua kakak-kakakku pandai dalam hal sains dan angka. Kecuali aku yang sibuk membaca buku novel dan menggambar banyak. Tahun lalu pun Miller menamparku karena nilai ujian matematikaku tidak lebih dari yang ia harapkan. Itulah mengapa aku tidak mengambil pelajaran matematika bersama Mr. William di Effingham. Aku sempat, tapi memutuskan untuk keluar lagi. Anxiety Disorder-ku telah sembuh, kurasa. Itu berkat Bibi Jade yang senantiasa membantuku untuk pulih. Tapi, kondisi psikologisku yang sangat takut dengan soal hitungan membuatku terkesan menginap math anxiety. Bisa jadi. Dan aku yakin soal itu.

Aku mengeraskan volume suara hujan agar otakku tak terus menerus membahas hal kelam yang sama berulang kali. Aku susah payah untuk memejamkan mata dan menunggu mimpi indah. Dan itu berhasil selama satu menit pertama. Tubuhku semakin rileks, tidak lagi tegang karena membayangkan wajah Miller dan cerita-cerita menyedihkannya bersamaku.

Aku memang sempat berpikir Miller membenciku. Ah, kalau beneran benci, mungkin aku sudah dibuang atau tidak diberi makan dari hasil jerih payahnya. Ditambah lagi, secara tak sadar, aku terikat secara ekonomi. Mau tak mau.

Huft... Ayo tidur, Emma! Jangan berpikir macam-macam lagi!

Aku meraih guling dan memeluknya dengan erat. Suara hujan dari ponselku seolah memberikan sugesti suhu yang dingin di kamar. Aku memejamkan mata lagi dan mulai setengah tertidur. Aku bermimpi Miller berteriak di luar kamarku. Teriakan amarah yang sama seperti kemarin aku pulang dari taman. Bedanya, terdengar suara Alex juga.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang