Emma menghabiskan sisa malam bersama keluarga Carpenter yang memperlakukannya dengan sangat baik. Kecuali ibu Mr. Taylor yang tidak kelihatan lagi sejak makan malam. Mr. Carpenter tidak henti-hentinya bertanya banyak hal kepada gadis itu. Sampai-sampai Emma sedikit bertanya-tanya kenapa beliau tampak penasaran padanya. Padahal, ia hanya murid putranya. Mr. Taylor pura-pura terbatuk saat ayahnya hendak bertanya soal apakah Emma menyukai mocktail atau wassail.
Marc menyimpan sisa kartu all wild uno-nya yang tersisa tiga lagi. "Sudah ah aku mau tidur." Marc berdiri dari sofanya dan berkata kepada Emma sekali lagi. "Semoga kamu betah di sini ya."
Emma menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ia menunduk menatap kartunya lagi. Berpikir bahwa sedari tadi ia berada di rumah orang lain dan sudah menyaksikan bagaimana hangatnya suasana di sini. Seorang ayah yang duduk di atas kursi malasnya sembari menonton debat politik di televisi yang menyala, dengan kedua anak yang sudah dewasa namun masih menyayanginya dan ada di sisinya.
Ketika aku sadar kalau keluargaku memang tidak normal dan agak hancur...
"Emma?"
"Emma!"
Emma mendongak. "Eh?" Paulina dan Mr. Taylor sedang memandangnya dengan sorot serius. Entah sudah berapa kali Emma tidak menyahut panggilan itu. Ia memang melamun cukup dalam. "Giliranku?" Emma mengecek kartu yang sudah bertumpuk di tengah mereka bertiga dan melemparkan satu berwarna merah +2— lalu menyentuh pipinya yang terasa linu. Tulang rahangnya sedikit berdenyut. Bekas tamparan Miller semakin terasa sakit sekarang.
Beberapa menit berlalu dan pedih yang kini terasa di kulitnya malah menjadi-jadi. Mr. Taylor yang awalnya berposisi tengkurap dengan bantal di bawah dadanya—berdiri dan berjalan menuju dapur tanpa memedulikan giliran kartu.
"Kalian mau minum apa?" tanyanya sambil membuka pintu kulkas yang lampunya menyala terang.
"Pepsi please!" seru Paulina.
"And Emma?"
"Apa saja, Sir."
"Starfruit juice mau?"
"Mau."
Mr. Taylor lalu mengambil dua minuman milik kedua wanita itu dan satu kaleng red bull untuknya. Saat kembali, Emma menerima minumannya dengan sopan. Mr. Taylor lalu mengambil satu tas zipper dingin berisi potongan es batu yang diapit di lengannya dan memberikannya pada Emma.
"Kompres pipimu," sodor Mr. Taylor. Emma sempat tercengang karena Mr. Taylor menyadari tingkah lakunya sedari tadi.
"T-thanks.." ucapnya seraya sedikit malu. Mr. Taylor melirik kakaknya.
Paulina tiba-tiba membuka mulut, seolah mengingat sesuatu. "Ya ampun! Aku lupa harus membuat laporan keuangan resto untuk besok! Emma, dear, aku ke kamar duluan ya. Kalau kamu ngantuk langsung saja masuk kamar. Kamu bereskan dulu permainannya dengan Taylor. Ok?" Emma hanya menurut dan Paulina beranjak dari karpet dan mengedipkan sebelah mata pada adiknya yang tetap memasang wajah judes tapi dengan hati yang girang.
Emma membetulkan posisi urutan kartu di tangannya yang mungil. "Sekarang giliran Mr. Taylor," ujarnya.
Alih-alih mengeluarkan kartunya ke tengah, Mr. Taylor malah membereskan kartu di atas karpet dan menumpuknya secara rapih. Termasuk kartu-kartu miliknya. "Udahan?" tanya Emma kebingungan sebab sedari tadi Mr. Taylor tidak senyum sama sekali.
"Sudah malam. Kau sebaiknya istirahat," katanya dan menerima kartu milik Emma untuk dirapihkan ke dalam kotak.
"Belum mau tidur, sih."
Mr. Taylor meliriknya. Jelas-jelas mata Emma sudah merah dan sayu. "Tempel lagi esnya, Emma."
Emma kembali menaruh kantong es itu di pipinya setelah melepasnya beberapa saat—dan ia berusaha menahan agar tidak meringis di hadapan gurunya. Ia tidak mau terlihat lemah. Sedangkan Mr. Taylor terheran-heran karena semenjak kejadian yang cukup dramatis tadi, Emma belum terlihat menangis atau bawa perasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. ART HIMSELF [COMPLETED]
Любовные романыWake Me Up When I Sleep 3 is a continuation of the previous Effingham thing. The trilogy is still very much related and there are no separate stories. There will be more POV of Mr. Taylor who's in dilemma about his feelings for Emma. He's not only h...