The Winners Announcement

29 4 0
                                    

Setelah bertemu Eliza, kantuk di mataku hilang dalam sekejap. Otakku segar lagi dan untungnya kafein tidak memengaruhi detak jantungku. Aku sedang duduk di antara para civitas akademika perwakilan sekolah menengah atas British Columbia, di aula besar dengan ratusan kursi biru berjajar rapih. Layar besar terpampang, menampilkan sebuah tulisan bernada olimpiade akademik Inggris Raya ke-13. Berada di tengah perlombaan para murid kami, berhasil membuat sengatan kecil ketika membayangkan nama sekolah disebutkan dan membawa penghargaan. Namun, bukan itu yang menjadi fokus utama. Melainkan membimbing peserta didik untuk turut serta membawa nama baik diri, keluarga, dan sekolah adalah hal yang membuat kami bangga pernah mengajari mereka banyak hal.

"Setiap tahun aku menikmati uforia debaran seperti ini. Dan kau tahu apa yang paling kusenangi, Mr. Taylor? Menjadi ayah bagi mereka di sekolah," ucap Mr. William membuatku menarik nafas kagum.

Aku menoleh ke belakang, mencari Ben untuk mengecek apakah wajahnya masih merah karena tegang atau lebih rileks setelah selesai mengikuti lomba. Namun, tak kudapati Ben sudah duduk-mungkin ia sedang berada di toilet karena mulas, seperti yang ia keluhkan tadi pagi. Tidak ada anak-anak Effingham di bangku sana, bisa jadi mereka sedang jajan atau keliling hotel. Yang kulihat hanyalah Emma yang tengah mengobrol asyik bersama Kim dan Hikaru-murid tahun delapan yang berasal dari Jepang. Emma bukan murid yang berada di bawah bimbinganku kali ini, tapi aku terus memandang ke arah ketiga gadis itu dari kejauhan. Emma terlihat penuh senyuman seperti biasanya. Aku menyadari bahwa bentuk dan tipe wajahnya tidak seperti mantan-mantanku yang dulu-yang didominasi oleh raut mengintimidasi dan tidak menoleransi segala hal kecuali pilihan hidup mereka sendiri. Emma memiliki aura yang sangat berbeda, kuakui itu. Baru kulihat gadis seperti dia selama 25 tahun hidupku. Di sebelahnya, Hikaru ikut tertawa, seperti baru mendengar perkataan menyenangkan darinya. Aku berbalik ke depan dan entah kenapa kedua ujung bibirku tertarik sedikit.

Aku merapihkan sisi rambut bergelombangku yang mulai panjang ke sisi telinga kiri, berusaha menepis pikiran soal topik obrolanku dengan Eliza tentang pernikahan di samping pendapat bahwa Emma-muridku sendiri, gadis yang duduk di ruang kelasku, menyukai seni-sedikit menarik perhatianku sejak awal kami bertemu.

Tuhan... aku tidak bisa.

Barangkali aku naif. Terlalu cepat bila mengakui diriku memiliki sense berbeda terhadap murid yang satu itu.

Kau membual.

Pembawa acara naik ke panggung ketika hampir semua anak berkumpul di aula. Sejak saat itu pula telingaku tiba-tiba mendengar kegaduhan dari setiap orang yang bersuara di sekitarku. Seperti dunia kembali menarikku ke kondisi yang asli. Apakah selama itu aku melamun?

Aku mengusap wajahku.

"Kau tampak tidak sehat, Sir." Ronan baru duduk di sebelahku.

Aku menoleh padanya. "Hm?" Aku cukup lama merespon ucapannya. "Ehh.. Ngantuk berat."

Ronan menggeleng pelan karena ia tahu aku begadang semalaman di ruang tamu penginapan. Aku mengusap-usap pelipis kananku selagi ia mengeluarkan air putih dari tasnya. "Minum sampai habis. Netralkan cairan tubuhmu."

Aku bersama para guru Effingham menyaksikan acara formal selama setengah jam. Sang pembawa acara pun mengumumkan bahwa sekolah kami meraih 4 emas, 1 perak, dan 4 perunggu.

"Itu adalah medali terbanyak yang pernah kita dapatkan!" Florence berkata girang dari depan bangku sambil bertepuk tangan.

"Dan peserta terbanyak yang ikut ke sini," sambung Mr. Davis di sebelah Florence, amat bangga karena George, murid didikannya memenangkan emas.

"Kami tidak menyangka George si lelaki cantik itu genius fisika!" seru Ms. March seraya terkekeh.

"Hahaha Georgeus," ujar Ms. Ronan meledek nama panggilan khas George di sekolah.

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang