Please Wake Up

19 5 1
                                    

Minggu ini adalah Effingham's Week of Project. Semua mata pelajaran diwajibkan membuat sebuah karya, dalam bentuk apapun itu. Kelas seniku sendiri memiliki proyek untuk membuat sebuah karya lukis. Karya apapun itu. Syaratnya hanya satu, harus di atas kain kosong dengan warna bebas. Kelas 11 A kini yang akan melaksanakan outdoor class. Anak-anak yang memakai jas almamater langsung membukanya, menggulung lengan kemeja sampai sikut, yang perempuan mengikat rambut, dan siap mengotori tangan dengan berbagai warna cat.

Semua tampak antusias saat menghamparkan sebuah kain hitam besar di tengah halaman rumput hijau besar di bagian belakang sekolah. Mereka sendiri yang memilih lokasi ini. Katanya strategis dan bisa dipakai untuk menikmati alam. Aku terserah mereka saja. Aku pun senang dengan suasana pagi menjelang siang yang tidak terlalu terik ini.

Sebelum mereka mulai mengeluarkan cat dengan tak sabar, aku lebih dulu mengeluarkan buku nilai dengan map biru, serta pulpen yang siap mendata poin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum mereka mulai mengeluarkan cat dengan tak sabar, aku lebih dulu mengeluarkan buku nilai dengan map biru, serta pulpen yang siap mendata poin.

"Kalian tolong tenang dulu. Dengarkan saya," ujarku dengan suara agak keras. Mereka yang awalnya mengoceh langsung diam menatapku ketika beberapa temannya ber-sstt bersamaan.

Melihat situasi sudah kondusif aku mengangguk mantap. "Terima kasih. Sebelum kita mulai projeknya, saya ingin meminta kejujuran kalian semua untuk menyebutkan siapa saja yang berkontribusi dalam perancangan ide di proyek kali ini."

Mereka saling tatap satu sama lain. Aku melirik kertas bertuliskan pertanyaan yang sudah kusiapkan. "Pertama, siapa yang memilih warna kain?"

Charlotte mengangkat tangan. "Apa alasannya?" tanyaku.

"Karena ini akan nyambung dengan apa yang akan kami lukis, Sir," jawabnya.

"Oke," kataku lalu mencatat poin untuknya.

"Siapa yang menyiapkan alat lukisnya?" tanyaku lagi.

Ben mengangkat tangan. "Aku menyiapkan cat."

Gabrielle ikut mengacungkan jari telunjuk. "Aku kuasnya."

"Aku juga."

"Aku palettenya, Sir!"

Aku mencatat nama mereka. Kemudian, aku pun bertanya siapa yang menyumbangkan ide paling banyak, yang mengusulkan ini dan itu, sampai bertanya siapa yang membawa barang-barang itu dari kelas sampai ke lapangan ini.

Beberapa orang mengacungkan tangan. "Bagus," sahutku. Mereka tampak senang, di antaranya bertepuk tangan. Sedangkan sebagian lain mulai menyesali kenapa mereka pasif dalam diskusi kelas. Termasuk Emma yang belum mengacungkan tangannya dari tadi. Aku sempat meliriknya, agak tak yakin dia pasif.

"Terakhir," sambungku. "Siapa yang memberikan judul proyek ini?" Setiap karya harus memiliki judul. Bukan hanya tema.

Emma akhirnya mengacungkan tangan. Aku refleks tersenyum, padahal tidak kulakukan saat anak lain mengangkat tangan mereka. Ah, sudahlah. Terlanjur. "Ya, Ms. Anderson?" Aku berusaha menahan gejolak aneh di perutku!

MR. ART HIMSELF [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang