.
.
.
Cinta adalah satu hal hakiki yang tak bisa dibantah apapun bentuknya. Karena selayaknya manusia selalu ingin bersama orang yang dia cinta. Apakah itu keluarga, teman, sahabat atau—seseorang yang selalu membuat kita tersenyum, menangis dan tertawa. Kekasih namanya.
Akan tetapi bagi seorang Chikita Yerina, mencintai berarti membiarkan dirinya merana. Jatuh ke dalam fase terburuk bernama patah hati. Yang belum dia ketemukan apa obatnya. Penyakit yang semakin parah—membuat kadang dia ingin mati saja. Karena cinta adalah hal kecil yang memberi efek luar biasa.
Nena merasakan pandangannya mengabur saat menatap sekeliling. Memperhatikan pernak-pernik indah yang mempercantik seluruh sudut hall hotel. Dia tahu bahwa kedua matanya sudah basah. Diikuti nafasnya yang sesak.
Sebuah remasan pada telapak tangannya membuat Nena menoleh dengan menampilkan senyum cantiknya.
Hirla menghela nafasnya saat mendapati kedua sudut mata temannya berkaca-kaca. Tanpa mengucapkan apapun, dia segera menyeka sudut mata Nena menggunakan tissu yang dibawanya.
"Lo mau pulang aja apa gimana? Mumpung acaranya belum dimulai." bisik Hirla.
Nena menggeleng-geleng dengan tangis tertahan. "Enggak Hir. Gue nggak bakal pulang. Gue belom nyapa Tante Je. Gue juga—belum ngasih selamat ke Darga sama Clarissa. Gue nggak bisa pulang."
Hirla mengangguk pelan. Mengusap-usap punggung Nena, menenangkan temannya itu. Hirla tahu sekali betapa hampanya Nena hari ini. Bahkan tadi saat Hirla menjemput Nena di apartemennya, temannya itu sudah teramat kacau. Masih mengenakan kaos longgar andalannya. Kantung mata hitam masih melingkari kelopaknya yang cantik.
Sampai setengah jam yang lalu mereka sudah memasuki hall hotel ini. Duduk di baris belakang. Bahkan Hirla membiarkan suaminya duduk di deret depan bersama Arbin dan Marlo. Sementara dia menemani Nena disini.
"Enggak apa-apa kalo lo mau pulang, Nen." saran Hirla lagi yang langsung dijawab dengan gelengan oleh perempuan itu.
"Enggak Hir. Gue tetep mau disini!"
Nena menahan nafas menatap keramaian di sekelilingnya. Juga menunduk menatap diri sendiri. Menatap dress batik kehitaman yang tadi asal dia ambil. Juga wedges manis yang menghiasi kakinya. Lalu wajahnya yang tersapu make-up sehari-hari ala kadarnya. Juga rambut panjang yang dia kuncir seperti biasa. Rasanya semua itu tidak seberapa penting bila dibanding dengan hatinya yang porak poranda.
Saat Nena menatap ke depan, suara seorang pembawa acara laki-laki mulai membuka acara. Hingga tak lama kemudian seluruh perhatian semua orang tertuju pada salah satu sisi.
Nena pun ikut menolehkan kepala. Tepat di depan sana Darga mulai memasuki hall didampingi segerombolan orang. Terlihat tampan dengan beskap yang melapisi tubuhnya. Padahal, semalam laki-laki itu begitu dekat dengannya. Namun sekarang dia sadar bahwa mereka sudah terlampau jauh. Sangat jauh.
Beberapa saat kemudian pembawa acara itu mengumumkan kehadiran mempelai perempuan di sisi satunya. Membuat nafas Nena tertahan. Lalu yang dilihatnya adalah Clarissa dengan kebaya yang sama seperti yang dicobanya waktu itu. Dengan sanggul sederhana, Clarissa terlihat cantik saat mengumbar senyum bahagia.
Nena sendiri hanya bisa menarik nafas, menguatkan hatinya. Bahwa Edwarga memang bukan untuknya. Tapi untuk Clarissa. Namun seberapa jauh dia menyangkal hatinya tetap merasa sakit juga.
Menghapus air matanya, Nena tetap menatap ke depan. Dimana Darga dan Clarissa duduk disana berdampingan. Masih mendengar prakata dari beberapa orang disana. Nena tahu bahwa sekarang adalah saat hatinya hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Make Me Better
RomanceBagi seorang Edwarga Jianno Leon, Chikita Yerina tak lebih dari seorang sekertaris dan assisten yang bisa diandalkan. Namun hari-hari yang mereka habiskan bersama membuat Darga menyadari jika kehadiran Nena memiliki makna lebih dari itu. "Salahnya...