.
.
.
Nena melangkah lunglai menuju unit apartemennya. Dia benar-benar shock dengan semua ini. Bahkan saat di dalam taksi online pun Nena masih menangis kencang. Membuat dia harus menjelaskan kepada si supir jika temannya baru saja meninggal. Membuat si supir langsung turut berbela-sungkawa.
Nena membuka pintu apartemennya dengan hampa. Pandangan matanya mengabur begitu saja. Menurunkan sling-bagnya dari bahu. Tubuhnya roboh memeluk lutut. Menenggelamkan kepalanya disana. Nena menangis sejadi-jadinya.
Nena mungkin tidak terlalu mengenal Clarissa. Tapi tetap saja, ingatan tentang peretemuan mereka beberapa hari yang lalu terus membayangi Nena. Jika saja dia tidak menuruti Clarissa, dan memberitahu Darga. Tentang penyakit perempuan itu. Pasti semuanya tak akan berakhir begini. Bisa saja Clarissa—masih terselamatkan.
Nena menyesalinya. Seandainya dia memiliki kesempatan untuk memberitahu Darga. Pasti semua tidak akan berakhir begini. Pasti mereka bisa berbuat sesuatu. Dan Nena hanya bisa menangisi pengandaian itu.
Suara dering ponsel, mengangetkan Nena yang masih memeluk lututnya. Perempuan itu menghapus air matanya yang membanjir. Meraih sling-bagnya dia mengeluarkan ponselnya. Ternyata Hirla yang menelpon.
"Nen—lo udah denger belum—" suara Hirla terdengar pelan di seberang.
"Soal—Clarissa, kan?" Nena langsung bisa menebak.
"Itu—bener ya? Gue tahu dari Oyan. Oyan dapet kabar dari Pak Satria. Katanya juga leukimia. Emang bener ya Nen?"
Nena malah kembali menangis saat mendengar suara Hirla. Membuatnya tak bisa menjawab dan malah menangis lagi. "Hir~~~~ Hir~~~~."
"Nen, lo dimana? Biar gue sama Oyan nyamperin lo." putus Hirla.
"Gue di apart."
"Oke. Gue sama Oyan bakal samperin lo. Kita bareng-bareng ke sananya." Nena hanya mengangguk. Lalu memutus sambungan telepon.
Satu jam kemudian Hirla dan Arroyan sampai juga di apartemen Nena. Keduanya sudah memakai baju serba hitam. Arroyan dengan kemeja hitam. Hirla dengan dress panjang warna sama. Tak lupa membawa kerudung untuk menutupi kepalanya.
"Hir," Nena seketika memeluk Hirla saat membuka pintu apartemannya.
Hirla menepuk-nepuk punggung Nena. Cukup lama keduanya berpelukan. Nena mencurahkan kesedihannya pada sang teman.
Lalu saat Hirla dan Arroyan duduk di dalam apartemennya. Nena menceritakan semuanya kepada Hirla. Tentang Clarissa yang mengajaknya makan siang. Tentang Clarissa yang mengatakan bahwa dia sedang sakit. Tentang Nena yang awalnya tidak percaya.
Juga tentang peristiwa pagi ini. Tentang Nena yang mendapat kabar dari Janetta. Tentang dia yang langsung menuju rumah sakit. Tentang Clarissa yang memanggilnya dan Darga masuk ke dalam ruang ICU. Tentang Clarissa yang menutup mata di hadapan mereka.
"Hir," Nena segera memeluk Hirla. "Seandainya—seandainya gue nggak nurutin Clarissa buat nggak ngasih tahu Darga. Pasti—pasti Clarissa nggak—nggak akan meninggal kan, Hir?"
Hirla terus membelai punggung Nena. "Lo nggak boleh ngomong kayak gitu, Nen. Ini semua udah takdir Yang Maha Kuasa." Hirla melirik suaminya.
"Iya Nen, bener. Ini semua udah takdir. Mungkin memang udah jalannya begini." Arroyan menambahkan.
Hirla mengurai peluk mereka. Tangannya menghapus air mata yang terus membasahi pipi bulat temannya itu. "Ini bukan salah lo, Nena."
Hirla masih menangis. "Tetep aja Hir, gue ngerasa salah. Gue yang tahu, Clarissa sakit. Tapi gue malah nggak bilang sama Darga ataupun Tante Je."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Make Me Better
RomanceBagi seorang Edwarga Jianno Leon, Chikita Yerina tak lebih dari seorang sekertaris dan assisten yang bisa diandalkan. Namun hari-hari yang mereka habiskan bersama membuat Darga menyadari jika kehadiran Nena memiliki makna lebih dari itu. "Salahnya...