.
.
.
Nena tak tahu jika cinta bisa membawanya seolah mengarungi samudera di lautan. Seperti menaiki sebuah kapal. Dimana kita harus siap dengan kondisi lautan yang tak dapat dikira-kira. Pagi angin bisa berhembus tenang. Ombak meliuk riang. Lalu malam badai tahu-tahu datang menerjang. Membuat kapal yang kita naiki bergoyang. Jika kita tidak memiliki pegangan yang kuat.
Begitu juga cinta. Seperti bulan yang menerangi malam. Seperti matahari yang meninggalkan malam. Seperti bintang yang kadang tak bisa diharapkan. Nena menekuk lututnya memendamkan kepalanya disana. Merasakan angin berhembus menerbangkan rambutnya.
Air mata kembali mengaliri kedua pipi tembamnya saat Nena teringat perasaannya untuk laki-laki itu. Mendongak menatap langit biru yang cerah. Mempertanyakan apa salahnya. Kenapa dia harus mendapatkan hal sesakit ini? Dia hanya mencintai satu orang dari dulu. Cintanya tak pernah berubah. Tapi kenapa? Kenapa mencintai satu orang saja menjadi sesakit ini rasanya?
Nena tak menginginkan kisah cinta satu malam seperti cinderella. Dia juga tak menginginkan satu ciuman untuk melepaskan diri dari jerat kematian seperti aurora atau snow white. Nena hanya menginginkan laki-laki itu melihatnya sebagai dirinya sendiri. Bukan sebagai pelarian dari sosok lain yang telah tiada.
Meski setiap malam Darga selalu datang dengan banyak kejutan. Yang membuatnya diam-diam terpana. Tapi Nena tak bisa menampik jika hatinya masih terlalu sakit untuk menerima kehadiran laki-laki itu di dekatnya.
Maka yang Nena lakukan hanya diam. Terus mendiamkan berharap Darga akan menjauh. Tapi yang ada laki-laki itu terus datang. Menerjang hatinya dengan berbagai harap semu yang dibawanya. Nena tak bisa. Sakit hatinya bukan lego yang bisa dibongkar pasang. Nena semakin mengeratkan pelukannya di lutut saat sesuatu yang perih itu kembali terasa dalam dadanya.
Bahkan Nena sudah melarikan diri dari apartemennya. Jauh dari laki-laki itu. Tapi kenapa sakit yang dibuatnya terasa sampai disini? Mungkin selamanya gue akan sendiri. Sampai mati pun sendiri.
"Nen?"
Suara lembut itu membuat Nena mendongakkan kepala. Punggung tangannya mengusap kedua matanya yang basah. Dia tersenyum menatap sosok di depannya. Hingga orang itu ikut duduk di sampingnya.
"Udah selesai mandiin baby G, Hir?" tanya Nena.
Hirla mengangguk sembari memangku Gatra yang sudah harum dan tampan mengenakan setelan abu-abu menggemaskan. Bayi berusia kurang lebih enam bulan itu menatap Nena dengan mata bulatnya. Tangan kecilnya bergerak-gerak ingin masuk ke dalam mulut. Namun Hirla segera menurunkan tangan anaknya itu.
Nena yang sadar menjadi objek pengelihatan baby Gatra hanya tertawa. Dia mencoba merebut Gatra dari pelukan Hirla. Kini bayi ganteng itu beralih dalam pelukan Nena.
"Baby G, ngapain lihatin Aunty? Bingung ya kenapa pagi-pagi udah ada yang nangis aja di dojo? Biasanya yang nangis pagi-pagi kan, Baby G ya. Kok Aunty ikut-ikutan, sih? Hmm?"
Nena mengecup pipi Gatra. Tapi Gatra malah mengusap pipinya yang Nena cium. Membuat Nena dan Hirla kompak tertawa.
"Aunty bau ya? Makanya Gatra nggak mau dicium sama Aunty. Tau ya kalau Aunty Nena belum mandi. Hihi."
Gatra lalu tenang saat Hirla memberikan anaknya itu bola karet lembut berwarna hijau.
"Oyan udah pergi ya, Hir?" tanya Nena karena sedari tadi tak melihat sosok Arroyan.
Hirla mengangguk. "Udah. Sehabis mandiin Gatra. Dia langsung mandi terus siap-siap. Mau ke notaris katanya. Nggak tahu urusan apa."
Nena hanya mengangguk tanpa minat. Tatap matanya kembali kosong. Lalu jatuh ke dalam lamunan panjang. Hingga Hirla mengambil anaknya lagi dari pelukan Nena.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Make Me Better
RomanceBagi seorang Edwarga Jianno Leon, Chikita Yerina tak lebih dari seorang sekertaris dan assisten yang bisa diandalkan. Namun hari-hari yang mereka habiskan bersama membuat Darga menyadari jika kehadiran Nena memiliki makna lebih dari itu. "Salahnya...