.
.
.
Suasana hall hotel itu masih ramai meski acara inti sudah berakhir sejak satu jam lalu. Namun Darga masih berdiri di sini. Berdiri menyalami orang-orang yang memberi selamat padanya dan juga Clarissa. Juga sesekali meladeni ajakan foto bersama dan selfie dari beberapa teman.
Melirik perempuan cantik di sampingnya, Darga nyaris tak percaya jika dirinya dan Clarissa sudah resmi menikah. Masih terekam jelas di ingatannya, saat pagi tadi dia terbangun di kamar tamu rumah Satria. Pukul tiga pagi, Satria mebangunkannya karena sepupunya itu mendapat terror dari mamanya. Meminta Darga segera pulang atau pernikahan hari ini batal. Namun itu hanya gertakan saja dari Janetta. Karena nyatanya dia berada di sini juga.
Clarissa tersenyum saat para tamu berderet hadir memberinya ucapan selamat. Terus tersenyum menebar kebahagiaan. Namun perempuan itu tahu ada yang aneh dengan laki-laki yang satu jam lalu itu melafazkan namanya dalam prosesi sakral ijab kabul. Menyentuh lengannya perlahan, Clarissa memanggil suaminya lirih.
"Dar,"
Darga menoleh kaget. "Iya, Cla. Kenapa?"
Clarissa menatap sejenak sorot mata Darga. Lalu dia bertanya pelan. "Ada yang lagi kamu pikirin?"
Darga tergagap. Bola matanya berputar panik saat Clarissa terus menatapnya. Membuatnya menelan ludah kelu. Jika boleh jujur, sebenarnya sejak menapaki ruangan ini tadi. Darga merasa hatinya resah. Tidak tahu apa penyebabnya. Hingga dia hanya bisa berharap bahwa langkahnya ini sudah benar. Menikah dengan Clarissa, perempuan yang dicintainya. Benar, bukan?
Namun kenapa sejak tadi Darga tak bisa menghentikan gerak matanya yang mencari sosok itu. Sosok yang bahkan sampai detik ini masih menguasai pikirannya. Bahkan di antara ratusan orang yang menyalaminya tadi. Sosok itu tidak ada di antara mereka. Darga merasa ada yang kurang.
Bek, lo nggak mau dateng ke nikahan gue?
"Ah, enggak. Nggak apa-apa." ujarnya tersenyum tipis membuat Clarissa balas tersenyum.
"Eh, kita samperin temen-temen kamu yuk? Aku belum puas nih, foto-foto sama mereka."
Darga bahkan belum mengiyakan. Namun Clarissa sudah lebih dulu menariknya ke sudut dimana Satria, Marlo, Arbin dan Arroyan masih berbincang seru.
"Hai semuanya, makasih ya udah dateng ke nikahan kita." Clarissa menyapa ramah dengan senyum lebar.
"Widih, penganten baru kita nih! Siap-siap buat ihuk, entar malem. Ciaaa!" seru Marlo. Membuat Irina segera mencubit pinggang pacarnya itu.
"Duh Beb, apaan sih kok aku dicubit?" protes Marlo. Namun laki-laki itu malah menggoda Irina yang rautnya memerah. "Kamu iri ya sama mereka. Makanya buruan dong Beb, yakinin bapak kamu kalo aku bisa jadi imam yang baik buat rumah tangga kita nanti."
Celoteh panjang lebar Marlo itu tidak digubris Irina. Karena selanjutnya perempuan itu malah menyusul Clara yang tengah mengambilkan Andhara makanan. Membuat cibiran seketika dihadiahkan teman-temannya untuk Marlo.
Kemudian tatapan Darga jatuh pada Hirla yang menempel pada Arroyan, suaminya. Berdiri dengan kalem di antara mereka semua. Darga bertanya pelan pada perempuan itu.
"Lo nggak lihat Nena, Hirla?" tanya Darga yang membuat suasana di antara mereka menjadi hening. Seakan ada es yang tahu-tahu membekukan mereka.
Marlo memicingkan matanya. Arroyan menatap tak percaya. Satria mengumpat dalam hati. Sedangkan Arbin hanya merasa ada yang salah dengan pertanyaan Darga ini.
Hirla yang ditanya saling bertatapan dengan Arroyan. Meminta pendapat suaminya. Tapi Arroyan hanya mengedik pelan. Lalu Hirla menjawab.
"Tadi Nena sama saya. Tapi dia buru-buru pergi karena ada urusan."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Make Me Better
RomanceBagi seorang Edwarga Jianno Leon, Chikita Yerina tak lebih dari seorang sekertaris dan assisten yang bisa diandalkan. Namun hari-hari yang mereka habiskan bersama membuat Darga menyadari jika kehadiran Nena memiliki makna lebih dari itu. "Salahnya...