Episode 2

55 6 2
                                    

Gadis itu melihat seseorang yang kini telah berdiri di sebelahnya. Orang yang juga berdiri di sebelahnya saat di ruang ketrampilan tadi. Ya, kakak itu. Raut wajah gadis itu menunjukkan bahwa ia memang sedang kebingungan dan dalam waktu singkat berubah menjadi teringat akan sesuatu.

"Ya. Kamu bener, aku orang yang tadi," ucapnya.

"Kakak? Aku manggilnya kakak, 'kan?" tanya Ziva memastikan.

"Iya"

Gadis itu mengangguk saja lalu melihat kembali kearah sosok di sebelahnya. Matanya langsung tertuju pada iris mata lelaki di sebelahnya yang berwarna coklat terang dengan matanya yang agak sipit. Ia tersenyum lalu mengalihkan pandangan agar tak terlalu lama melihatnya. Baru saja akan melemparkan pertanyaan, lelaki itu sudah akan beranjak pergi dari tempatnya.

"Kalo gitu. Kakak duluan ya"

"Eh iya kak"

Ziva melihat punggung sosok itu hingga ia menghilang dari pandangannya. Ia mengerjapkan matanya berulang kali, sesuatu yang sulit di percaya jika seorang senior berbicara kepadanya dan hanya berdua.

Minggu depan, tepat pada hari Kamis adalah latihan pertama yang dilakukan pada semester ini. Ziva berdiri di dalam kelasnya, menatap sebuah cermin kecil yang ia gunakan sebagai alat untuk memperlihatkan begitu rapinya dia hari ini dengan seragam cokelat dengan dasi Pramuka yang melingkar di lehernya. Orang-orang di sekitarnya biasa menyebutnya kacu. Ia berjalan dengan tas yang berada di punggungnya menuju ke ruang ketrampilan yang berada di ujung. Sesampainya di sana, sudah ada beberapa senior putri yang berdiri di depan ruangan.

"Dek. Kacunya belum boleh dipakai, belum waktunya kalian pakai ini," ujar salah seorang kakak senior perempuan dengan kulit hitam manis.

"Jadi ... di lepas dulu, Kak?"

"Iya. Di simpan dulu, kalo udah waktunya baru boleh dipakai"

Ziva melepaskan kacu yang melingkar di lehernya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia sibuk mencari ruang kosong di dalam tas karena isinya yang terlalu banyak sehingga tak ada ruang kosong di sana. Selain ada buku, terdapat pula baju batik yang terlipat sedikit rapi di dalam sana. Ia memutuskan untuk menyelipkan kacu itu pada lipatan baju batik di dalam tas.

"Yok kumpul! Kumpul!" teriak salah satu kakak senior dari dalam ruang ketrampilan.

"Wahyu! Panggil itu loh, si Rian kemana woy?! Latihan pertama udah ngilang aja tuh anak," omel seseorang bertubuh gempal, Ziva belum tahu namanya jadi sebut saja si gempal.

"Oh namanya kak Wahyu. Astaghfirullah aku kira Yuyu kemarin," ucap Ziva menahan tawa.

"Lah? Kenapa gak kamu aja. Aku lagi males nyari si Rian, nanti juga dateng tuh anak"

Otakku mulai bekerja, mencari seseorang bernama Rian. Menerka-nerka wajah orang itu seperti apa. Lamunanku terbuyarkan oleh suara-suara berisik dari kerumunan orang yang sudah bersiap-siap di dalam ruangan. Tak lama kemudian ada sejumlah orang yang berlari memasuki ruang ketrampilan dengan napas yang tersengal-sengal.

"Hah? Kak Rian yang mana? Banyak banget, yang mana nih orangnya?" tanya Ziva penasaran.

"Maaf, Yu. Kita agak telat. Aku pulang sebentar tadi, celana Pramuka ketinggalan di rumah," ucap kakak yang di gerbang bersamaku kemarin.

"Oke gak papa. Langsung baris aja"

Setelah cukup lama berbincang-bincang, Ziva menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka dan menampakkan seseorang dengan tubuh tinggi dengan badannya yang tegap. Lelaki itu memiliki banyak lambang pada bajunya, sedangkan Ziva tidak mengetahui satupun dari lambang itu kecuali lambang tunas kelapa di dada. Siapa dia? Ziva juga tidak tahu apalagi kalian.

KABAMAS [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang