Episode 5

44 5 4
                                    

Rian tertawa pelan lalu mengambil teks tersebut dari tangan Ziva. Ia melangkah menuju ke bawah pohon alpukat, barisan para petugas. Ziva melihat wajah teman-temannya, banyak yang belum bisa ia bedakan satu sama lainnya, banyak yang tidak ia ketahui namanya, dan banyak pula yang menghilang padahal saat pendataan jumlah anggotanya sangat banyak sampai ruang ketrampilan itu penuh.

"Ziva! Nanti pulangnya gimana?"

"Naik angkot, Dila"

"Bareng ya"

"Oke siap"

Gadis itu melihat tiang bendera yang dibuat oleh kakak seniornya dari stok (tongkat kayu). Ia melihat tata cara pengibaran bendera Pramuka yang berbeda dari upacara bendera pada umumnya. Dia tersenyum, sedikit bersyukur bisa berada di organisasi ini dan dapat menyaksikan apa yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.

"Dek. Besok pakai baju Pramuka, ya. Jangan sampai kalian salah baju"

"Siap Kak!"

Keesokan harinya, pagi itu hujan cukup deras turun membasahi kota. Raut wajah para anggota Pramuka tampak cukup sedih meskipun sebenarnya tidak terlalu sedih. Angin juga berhembus cukup kencang seakan badai menerpa. Upacara hendak di batalkan, namun langit perlahan cerah dan menampakkan matahari yang mengintip di atas sana.

Dengan sigap mereka mengambil peralatan dan mempersiapkan semuanya. Ziva berbaris di barisan kelasnya yang menghadap tepat ke arah tiang bendera. Ia di barisan belakang karena tubuhnya yang cukup tinggi di antara yang lainnya.

"Aww! Apa nih?" tanya Ziva melihat ke arah kakinya.

"Gila! Semut woy!" ucapnya sedikit keras.

Gadis itu menutup mulutnya lalu pindah ke barisan kelas sebelah. Tidak mau kakinya di gigit oleh semut-semut merah yang membuat sensasi gatal-gatal sakit. Mentang-mentang Ziva manis jadinya dikerubungi semut, gak gitu juga sih.

"Loh, Va. Ngapain pindah?"

"Itu noh. Mau di gigit semut? Aku sih enggak, kamu aja," ucapnya bergidik geli melihat semut yang berhamburan keluar dari sarang. Maklum sarangnya rusak karena dipijak, belum lagi teman sekelasnya yang malah iseng menginjak-injak sarang semut tersebut sampai tak berbentuk.

"Eh, maaf. Numpang baris di sini, ya"

Upacara sudah dimulai, saat pembacaan Dasa Dharma ia ikut meletakkan kepalan tangannya di dada sebelah kiri. Ikut berjanji meskipun ia belum hafal poin-poinnya, padahal kakak seniornya sudah menyuruhnya untuk menghafal. Ia melirik kanan kiri, merasa sok akrab dengan orang yang berbaris di sebelahnya padahal tidak kenal sama sekali.

Ia melihat ke arah petugas, melihat Rian yang sudah gelisah tak karuan dan pengibaran bendera lancar-lancar saja meskipun saat mereka kembali ke barisan harus terjatuh karena tanah lapangan yang licin, belum lagi mereka tidak melangkah seperti biasa dan harus menggunakan lari maju untuk kembali ke barisan. Tiba-tiba Ziva terbayang untuk mengibarkan bendera cikal dan diapit oleh dua cowok ganteng, sangat menyenangkan, mungkin.

"Astaghfirullah Ziva. Mikirin apa sih?" ucapnya pada diri sendiri.

Upacara Pramuka telah selesai dilaksanakan, para anggota berkumpul di depan tiang bendera dengan wajah sumringah. Meskipun banyak kendala tapi tetap saja berjalan lancar seolah tidak terjadi apa-apa.

"Alhamdulillah selesai upacara perdana kita. Besok-besok kalo upacara Pramuka kalian yang bertugas, ya. Kita gantian"

"Hah?! Kak kita gak bisa!"

"Coba aja dulu. Belum dicoba kok udah bilang gak bisa. Ya, manusia memang begini"

Mereka berpencar, membereskan perlengkapan upacara ke tempatnya semula. Ada yang ke ruang OSIS, ke ruang ketrampilan dan banyak pula yang berlarian ke kelasnya masing-masing. Ziva mungkin menjadi salah satu anggota yang membandel. Di saat anggota yang lain membereskan peralatan, dia malah kabur ke kelas dengan alasan guru mata pelajaran sudah masuk ke kelasnya.

Baru beberapa langkah ia berjalan dari lapangan, seorang kakak seniornya berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan yang tidak bisa di jelaskan. Ziva yang merasa tertangkap basah hanya menyeringai, tapi tak terjadi apa-apa. Toh sepuluh anggota saja sudah cukup bahkan lebih rasanya untuk membereskan perlengkapan yang tak seberapa banyak itu.

Ia melanjutkan perjalanan ke kelasnya yang benar saja sudah ada guru di sana. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya, untung saja ia masih diperbolehkan masuk oleh guru yang galak tersebut. Info-info nih, ya, guru yang mengajar pada jam pertama di pagi hari ini adalah guru IPS dengan muka-muka juteknya. Diam saja sudah jutek apalagi berbicara, pikir Ziva setiap kali melihat wajah guru itu.

Bel istirahat berbunyi, gadis itu duduk di teras kelasnya, merasa sangat malas untuk sekadar berjalan ke kantin. Padahal kantin itu sudah sangat dekat dengannya, lebih tepatnya di sebelah kelasnya. Tapi, malas ya tetap malas, tidak pernah ada obatnya. Salah satu penyakit yang amat serius.

"Va. Kamu kenapa, sih, ngelamun?"

"Va! Denger gak sih?"

Gadis itu menoleh ke arah temannya yang sudah duduk di sebelahnya dengan wajah yang memperlihatkan ekspresi marahnya. Ia benar-benar kesal dengan Ziva yang terus mengabaikannya.

"Em kenapa?"

"Kamu yang kenapa? Malah balik nanya"

"Apa sih? Aku nanya kenapa kamu marah, malah nanya"

"Hadeh ngelamun ya ngelamun aja. Pendengaran harus terus dipakai kalo enggak, ya, gini"

Ziva hanya bisa tersenyum dengan sederetan gigi putihnya. Ia juga tidak tahu kenapa dia bisa melamun secara tiba-tiba, rasanya kayak enak aja gitu. Kosong, tidak ada yang dipikirkan olehnya saat ini. Tiba-tiba seorang teman sekelasnya bermain bola di lapangan dan hampir saja mengenai kaca jendela kelas. Beruntung tidak terjadi apa-apa, kalau seandainya pecah bisa bahaya.

"Kalo main hati-hati dong! Ingat kami ini anak Pramuka. Nilai kalian kami yang menentukan!" teriak Jesika.

Ziva seketika menoleh kearahnya, kaget, malu, dan rasa ingin tertawa. Bisa-bisanya Jesika meneriakkan hal sedemikian rupa, padahal anak Pramuka tidaklah berpengaruh terhadap nilai satu sekolah.

"Jes, jangan gitu ah. Kita, kan, bukan apa-apa"

"Ingat, Va. Kita itu setara dengan anak OSIS. Pratama dan ketua OSIS itu sama tingkatnya, tapi mungkin anak Pramuka lebih tinggi kedudukannya"

"Oh gitu, ya. Pratama apa?"

Jesika menepuk jidatnya, benar-benar polos. Ziva tidak tahu apa-apa tentang Pramuka, kepanjangan Pramuka saja dia lupa apalagi seluk beluk di dalamnya. Sejarah panjang yang mungkin hanya akan membuatnya tertidur karena terlalu panjang, namanya juga sejarah panjang. Kalo pendek, ya, sejarah singkat namanya.

"Ziva ... dengerin, ya. Pratama itu pimpinan tertinggi di Pramuka penggalang..." ucap Jesika terpotong.

"Galang dana?"

"Ya bukan aish. Penggalang itu tingkatan Pramuka, kita SMP jadinya penggalang"

"Kalo SMA apa? Penggeleng? Kalo SD ... Penggiling?"

"Bukan! Ya Allah, banyakin sabar punya temen kayak gini. Ada aja pikirannya, astaghfirullah"


- TBC -








Hai hai hai gais ...
Update lagi nih. Maafin Ziva, ya, yang otaknya terkadang geser dikit hehe

Gimana nih episode kali ini? Hmmm tungguin update selanjutnya, ya. Harus ikut sampai cerita ini end pokoknya.

Jangan lupa vote ya!! Satu vote sangat membantu ges huhu ...

Sekian terimakasih, babay

KABAMAS [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang