Suasa ruangan mendadak menjadi sepi seketika saat Ziva melontarkan pertanyaan tersebut. Beragam ekspresi mereka tunjukkan, bahkan Bonge dan Tio yang baru saja memasuki ruangan mendadak menjadi batu begitu melihat semuanya terdiam membisu. Terkecuali Wahyu, ia tetap tenang dengan tatapan mata teduhnya seakan sudah tahu jika Ziva akan menanyakan hal tersebut.
"Karena Pak Hadi pengen fokus ke pekerjaannya sebagai staf TU. Kalo ngurusin kita terus bisa jadi pekerjaannya kacau, tau sendiri, kan, kalo kita bandelnya minta ampun"
"Eh iya juga ya, Kak"
Ziva tampak berpikir sejenak, memutar bola matanya. Suasana di dalam ruangan tak terlalu dingin seperti tadi. Kini Ziva tersenyum sedikit miring merasa janggal dengan suatu hal yang belum lama ini dilihat olehnya.
"Kak, kenapa plang nama gudep gak ada di depan? Sekolah lain punya semua loh. Oh iya, kenapa plang yang sebelumnya dicoret-coret?"
Napas Wahyu seakan terasa tercekat sekarang. Ia menatap Ziva yang masih diselimuti oleh rasa penasaran yang cukup tinggi. Semua senior yang berada di sana merasa kenangan buruk bertahun-tahun silam terulang kembali. Tak ada satupun yang melupakan kejadian buruk itu, bahkan sejauh apapun mereka berlari, sekuat apapun mereka mencoba untuk memperbaiki diri, tetap saja masa lalu akan kembali diulik.
"BISA GAK KAMU GAK USAH BANYAK TANYA!" teriak Dion dengan mata yang mulai memerah menahan amarah.
Ziva terperanjat kaget, ia menatap Dion sedikit takut. Tak pernah ia dibentak sepedti ini sebelumnya oleh para seniornya. Ziva sadar, pertanyaannya terlalu terlarang. Ziva menunduk, memilih diam membisu.
"M-maaf, Kak. Ziva sudah lancang"
"Sekali lagi kamu nanya, lihat akibatnya," ucap Dion masih dengan nada sinisnya.
Gadis itu semakin menunduk takut, diremasnya rok yang ia kenakan. Ia bahkan kesulitan untuk menelan air liurnya sendiri. Jika ia bisa memutar waktu, biarkan ia menyimpan rasa penasaran itu hingga terjawab dengan sendirinya tanpa harus bertanya seperti tadi. Sungguh, Ziva sangat menyesal.
"Stt ... udah, Yon. Dia cuma penasaran, kok"
"Tapi, Yu. Kamu tau sendiri, kan, gimana ceritanya. Ya kali dia nanya hal begituan"
"Udah ah"
"Yu, dia tuh! Arghhh!"
"Yon! Calm down bro," ucap Rian spontan.
"Apa hah? Mau belain? Silahkan, Yan. Dia emang gak salah, yang salah tu pertanyaannya, Yan. PERTANYAANNYA!"
"Maaf, Kak. Ziva emang gak tahu apa-apa tentang Kabamas di masa lalu, dan dengan percaya dirinya Ziva menanyakan hal selancang itu. Ziva benar-benar minta maaf, Kak. Ziva mengaku bahwa Ziva salah," ucap Ziva dengan bibir yang bergetar.
"Kamu ... jangan sampai bertanya soal itu lagi. Itu pertanyaan terlaramg di sini"
"Ziva benar-benar minta maaf, Kak"
Amarah Dion mereda, matanya tak terlalu memerah sekarang. Ia menatap Ziva yang sudah menunduk sejak tadi, nadanya berbicara pun tak sejelas tadi. Tersendat-sendat, bergetar, benar saja rasa takit itu sudah menyelimuti dirinya saat ini. Dion membuka suaranya, mencoba mengatur nada bicaranya.
"Ziva ... bagus kalo kamu pemikir kritis, tapi kamu juga harus memilah pertanyaan kamu. Gak semuanya harus kamu tanyakan dan gak semua dari pertanyaan butuh jawaban. Maaf, untuk pertanyaan kamu yang tadi, para senior tidak bisa memberikan jawaban," jelas Dion.
"Ceritanya panjang, Dek. Kamu gak akan ngerti meskipun dijelasin panjang lebar kali tinggi bahkan dikuadratkan sekalipun. Hanya waktu yang bisa menceritakannya sendiri sama kamu," tambah Rian yang kini sudah duduk kembali di tempat semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
KABAMAS [Selesai]
Ficção AdolescenteMenang itu, bukan tentang siapa yang mendapatkan medali maupun piala. Bukan pula orang-orang yang menyimpan puluhan piagam di rumahnya. Tapi, menang itu adalah sebuah proses di mana seseorang bertekad untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik dibandi...