Senin ini, sekolah diliburkan karena akan ada kegiatan pelatihan guru yang dilakukan. Namun, tak ada kata libur bagi anggota Pramuka karena waktu perlombaan tinggal sebentar lagi. Ziva berangkat sendirian dengan seragam pramuka lengkapnya. Seharusnya ia bersama Vika, tetapi Vika sedang sakit.
Ia sampai di sekolah dan langsung menuji ke ruang keterampilan. Ia sangat takut jika di sekolah hanya ada dirinya saja. Ia tersenyum puas ketika seorang laki-laki dengan kemeja hitam menyambutnua dengan seulas senyum tulus.
"Pagi Ziva," sapanya lembut.
"Pagi juga Kak Rian"
Keduanya memasuki ruangan, tak lama setelahnya Dila, Dayang dan Jesika datang. Jesika tampak mencolok dengan sepatu putih dan baju jalannya. Entahlah, belakangan ini ia seringkali mendapat masalah karena pakaian maupun karena tingkah lakunya. Liza pun datang dengan beberapa mangga di dalam tasnya yang kemudian ia bagikan.
Waktu istirahat masih panjang, mereka berkeliaran ke warung dan kembali lagi. Ziva duduk di atas matras sambil menunggu Rian kembali dari warung bersama teman-temannya.
"Va, kamu gak ikutan ke warung?" tanya Marsha.
"Enggak, Kak. Mager mau jalan"
"Oalah kalo gitu kakak ke warung dulu, ya. Baik-baik di sini"
"Iya, Kak"
Selang beberapa menit mereka kembali. Rian langsung mengambil tempat duduk di sebelah Ziva, membuka kantung kresek berisikan beragam jenis jajanan dengan cita rasa manis kesukaannya. Ziva melirik lantas berdeham pelan.
"Kenapa hmm?"
"Oh enggak ada"
"Kenapa?" tanya Rian dengan tatapan mengintimidasi.
"Enggak ada, Kak. Ini mau batuk gak bisa"
"Oh, kirain mau coklat"
Ziva membuang wajahnya, mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Rian menarik lengan kirinya, membuka telapak tangan gadis itu dan memberikan dua buah pasta coklat.
"Ih apaan, gak perlu, Kak," ucap Ziva menolak.
"Gak! Buat kamu ini"
"Enggak usah. Kakak aja yang makan"
"Udahlah terima aja"
"Enggak"
"Terima"
"Enggak"
"Terima, Ziva"
"Enggak"
"Sayang ..." ucap Rian pelan membuat Ziva melotot dengan sebelah tangan mencubit lengan Rian cukup kuat.
"Stress," balas Ziva dengan kedua tangan dilipat di depan dadanya.
"Ekhem. Biasanya kalau sering berantem gini jodoh loh nantinya," ucap Dila sambil menyedot minumannya.
"Heh! Ngawur,"ucap keduanya kompak.
"Tuh, kan, barengan lagi. Fiks kalian berdua jodoh"
Ziva melihat ke arah Rian yang saat ini juga menatapnya. Keduanya bergidik geli, Rian masih tetap memberikan jajanannya, kali ini tak ada penolakan. Mereka memainkan permainan kematian untuk kesekian kalinya. Truth or Dare? Sama saja seperti Harta atau Nyawa? tapi ini jelas lebih sulit dibandingkan dugaannya.
Pulpen itu berputar dan berhenti tepat di hadapan Ziva membuatnya melotot kesal. Ia sangat tidak suka dengan permainan yang satu ini, tidak pernah ingin memainkannya.
"Truth"
"Ziva, jujur sama kita. Kamu sayang atau enggak sama Kak Rian?" tanya Liza.
Ziva mendadak bingung harus menjawab apa. Seharusnya ia tak harus bingung, kan? Sejak awal ia memang ingin menutupi perasaannya. Tapi yang terucap dari bibirnya malah berbeda dati apa yang diniatkan oleh hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KABAMAS [Selesai]
Teen FictionMenang itu, bukan tentang siapa yang mendapatkan medali maupun piala. Bukan pula orang-orang yang menyimpan puluhan piagam di rumahnya. Tapi, menang itu adalah sebuah proses di mana seseorang bertekad untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik dibandi...