Episode 26

15 3 1
                                        

Sepanjang jalan menuju ruang keterampilan Ziva terus berpikir tentang ucapan Pak Hadi sebelumnya kepada mereka. Ziva baru teringat sesuatu, sejak perkemahan pertama dimulai sejak itu pula teman-teman mereka serentak keluar dari ekskul tersebut. Entahlah, entah sebab apa mereka keluar tanpa kejelasan, tak ada alasan kuat kenapa mereka keluar bersamaan. Ziva hanya berharap, orang-orang yang saat ini bersamanya bisa terus ada di dekatnya.

"Salat Jumat udah selesai belum, ya?" tanya Dion.

"Kayaknya udah deh, Kak"

"Ya udah kalau begitu. Kalian salat, gih. Jumat bukan cuma cowok yang salat, kalian juga. Mentang-mentang cowok salat Jumat kaliannya enggak salat Dzuhur"

"Oke siap, Kak"

Dion duduk di atas tumpukan matras, memakan makanan ringan yang ia beli saat istirahat tadi. Sedangkan para anggota Lili sibuk membentang tikar, dan mengambil wudhu di depan mushala. Mushala sudah dikunci sehingga tak bisa dipakai saat ini. Mereka salat di dalam ruang keterampilan sebelum anggota Lebah kembali ke sekolah. Saat berdoa, Ziva menyelipkan sedikit kalimat permohonannya, berharap sangat berharap jika anggota yang sekarang tak akan pernah berkurang untuk kedepannya.

Tikar-tikar itu dibiarkan terbentang begitu saja ketika anggota Lebah kembali. Mereka duduk melingkar, saling berbicara satu sama lain. Sebenarnya tak ada jadwal salat dzuhur berjamaah di sini, tapi siswa dan siswi akan pulang dari sekolah pada pukul 12.40. Jadi para anggota Pramuka berinisiatif untuk membawa perlengkapan salat dan Al-Qur'an setiap harinya. Karena katanya apabila suatu saat terjadi kecelakaan, orang-orang akan melihat apa yang mereka bawa saat memeriksa tas. Ya, dengan begitu nama Pramuka tak akan buruk.

"Mimpi kalian apa aja, sih?" tanya Noris sambil memperhatikan mereka satu persatu.

"Mimpi, ya?"

"Heem"

"Jadi pengusaha kaya raya dong"

"Jadi apa aja lah yang penting sukses"

"Jadi ultramen boleh gak?"

Sontak mereka tertawa bersama, membicarakan masa depan tak akan pernah ada habisnya. Satu tahun, dua tahun, atau bahkan lima tahun kedepan semuanya tak lagi sama. Mereka yakin akan hal itu, hari ini bisa saja menjadi suatu kenangan yang tak akan pernah bisa terulang.

"Kalo aku pengen bebas saat dewasa, gak enak punya strict-parents," ucap Jihan.

Ya, Jihan memang selalu dikhawatirkan oleh orang tuanya. Tapi, masih bagus jika orang tua memerhatikan daripada tidak sama sekali. Tapi, kita juga tak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki orang tua yang terlalu khawatir seperti itu.

"Kalian kalo punya masalah, punya problem ..." ucap Wahyu terputus.

"Masalah sama problem gak ada bedanya, Yu, haha," ucap Ade menyeringai.

"Sttt ... diem kamu"

"Oke deh lanjut lanjut"

"Kalian kalo punya masalah, apapun itu sebisa mungkin jangan dipendam sendiri, ya. Kita udah keluarga disini, kita tuh kakak adik, gak ada yang namanya masalah dipendam sendiri tuh gak ada"

"Kita sebagai kakak senior disini rasanya kayak gak guna kalo gak melindungi kalian. Emang sih hobinya marah-marah, stt jangan bilang sama angkatan ke-5, ya. Mereka galak-galak soalnya," ucap Wahyu menambahkan perkataan yang sebelumnya sambil melirik ke kanan dan ke kiri.

"Ekhem!" Arbi berdeham dari ujung ruangan.

"Gak ada, kok, Bi. Aman-aman, you're a good person," balas Rian.

Ziva dan teman-temannya memerhatikan kakak-kakak seniornya. Anggota Lili angkatan kelima memang jarang hadir karena tugas mereka sebagai kelas 9 tidaklah sedikit. Berbeda dengan dua angkatan dibawahnya yang masih saja sibuk bermain, bermain, dan bermain.

"Kalian gak tahu, kan, zaman kita latihan sama Pak Hadi dulu?"

"Ya enggak atuh, Kak. Kita aja baru masuk SMP bulan Juli kemarin"

"Eh iya juga"

"Haduh Yu, Yu. Biasa, dek, Kak Wahyu emang gini orangnya. Hayo siapa yang first impression-nya aneh waktu ngeliat Kak Wahyu pertama kali?" tanya Noris begitu saja.

Ziva tertegun sejenak, ia memikirkan hal aneh saat pertama kali melihat Wahyu. Bukankah semua orang begitu? Apakah hanya dirinya saja yang memiliki pemikiran seperti itu. Yang pasti, ia berusaha untuk menyembunyikan semuanya dari kakak seniornya sebelum ia diamuk oleh Wahyu yang notabene lumayan galak dibandingkan yang lainnya.

"Kayaknya ada deh, Yu. Yang baju olahraganya biru noh," ucap Rian sambil melirik ke arah Ziva.

Ziva yang merasa mengenakan seragam olahraga berwarna biru dari SDnya menoleh ke arah Rian. Dua angkatan ini belum memiliki seragam olahraga dari SMP. Alhasil mereka mengenakan pakaian SD, terkadang hanya dengan celana training dengan atasan kaos oblong. Yang penting nyaman untuk dibawa berolahraga.

"Kak Rian ish"

Rian tertawa pelan sambil terus memerhatikan gadis dihadadapannya. Entah darimana Rian tahu jika Ziva pernah beranggapan bahwa Wahyu adalah alien. Ziva menunduk malu sekaligus takut dengan tatapan Wahyu yang saat ini sudah menatapnya tajam.

"Berani-beraninya kamu, Va!"

"Eh maaf, Kak. Gak sengaja, eh maksudnya reflek gitu, eh apasih?" ucap Ziva tak karuan.

"Ah eh ah eh, gak jelas kamu"

"Serius, Kak. Ziva gak ada niatan buat ngatain kakak begitu, kok," ucap Ziva dengan kedua jari yang terangkat membentuk huruf v.

"Udah-udah, santai. Kakak udah biasa, emang, sih, mata kakak gede kepala botak lagi. Siapa, sih, yang gak kepikiran begitu?"

Ziva sebisa mungkin menahan tawanya tapi tak bisa. Meskipun ia menyembunyikan wajahnya, tetap saja tawanya terlihat dengan sangat jelas. Ziva melirik kearah Rian yang sudah tak bisa lagi menahan tawanya. Bukan hanya dirinya yang memiliki pemikiran seperti itu, ternyata orang lain sama halnya dengan Ziva. Memiliki kesan pertama yang sama terhadap Wahyu.

"Eh, kan, pembahasannya jadi kemana-mana. Tadi bahas apa coba?"

"Oh iya. Kenapa malah nyasar kemana-mana? Jadi siapa duluan nih yang mau ceritain zaman kita dibawah bimbingan Pak Hadi?"

"Aku!" teriak Arbi yang langsung berlari untuk bergabung.

Arbi sudah duduk diantara mereka, menceritakan dari awal ia masuk ke dalam organisasi yang satu ini hingga ia bersama dengan para junior yang terkadang bersikap diluar nalar ini. Semuanya sibuk menyimak, tak ada yang memotong pembicaraan. Ziva juga merasa bahwa mereka tidaklah murni berkeinginan untuk berada di sini, separuhnya adalah karena keterpaksaan atau hanya sekadar ikut-ikutan.

"Kami dulu kena pukul rotan kalau gak salat. Emang terjaga bener"

"Ini satu, gak boleh ngomong kotor, jangan nunjuk-nunjuk kalo lagi ngobrol"

"Kenapa, Kak?"

"Sopankah kalo kalian lagi ngobrol terus teman kalian nunjuk-nunjuk? Terkesan kayak marah kalau begitu"

"Hoalah begitu rupanya"

"Oh iya, Dek. Satu lagi, kalian jangan makan sambil berdiri, ya"

"Siap Kak!"

"Kak ... kenapa Pak Hadi bukan pembina lagi?"

- TBC -


















Eiyoo ges! Maaf baru bisa update ya
Gimana nih kabar kalian? Semoga sehat selalu ya

Ceritaku ngebosenin ya? Emang hehe tapi kalian mungkin menemukan beberapa pelajaran di sini, jadi jangan lelah membaca ya

Oh ya, tungguin terus update berikutnya, jangan lupa vote. Babay!!

KABAMAS [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang