Ziva melemparkan kerikil di hadapannya. Beberapa orang sudah menemuinya untuk bergabung dengan mereka di dalam ruangan. Tapi, seseorang lagi belum membujuknya. Rian, kemana ia sekarang? Di mana dia?
"Ah! Ziva kesel! Kalo kayak gini acaranya besok gak bakal bisa sampe sore. Arghh!"
"Kenapa semuanya jadi bikin Ziva sendirian? Hiks harusnya ada Dila yang nemenin. Sekarang Dila aja gak tau gimana kabarnya. Kak Wahyu juga, Kak Dion. Yang lain juga pada kemana, sih, Kak? Hiks"
Ziva menenggelamkan wajahnya di dalam kedua tangannya yang terlipat. Ziva bisa mendengar suara langkah kaki seseorang dari arah depan. Ziva memilih tak peduli dan melanjutkan tangisnya.
"Va ... mau susu vanilla? Kakak beliin di minimarket nanti. Tapi jangan nangis lagi, ya," ucap seseorang itu lalu berjongkok di depan Ziva.
"Enggak mau"
"Oh ya udah. Maunya apa?"
"Kakak di sini aja. Temenin Ziva, sebentar aja, sebentar"
"Oke"
Rian diam mengikuti Ziva yang hanya diam. Keduanya saling diam sambil memerhatikan keadaan sekitar. Sampai akhirnya Rian melihat ke dalam ruang kelas dan tersenyum sekilas.
"Va, inget gak hari pertama kita ketemu. Eh enggak maksudnya hari pertama kita kemah?"
"Yang mana?"
"Itu, sini dulu kamu"
Ziva bangkit dari duduknya dan menghampiri Rian yang kini telah memasuki ruang kelas tersebut. Entah mengapa ruang kelas ini tidak di kunci hari ini. Rian langsung mengambil tempat duduk di mana ia duduk saat jam materi pada perkemahan pertama dengan Kak Alvi.
"Va, kamu duduk di depan, Kakak, kan? Kakak masih inget banget"
"Eh iya iya. Yang tadinya Ziva mau minjemin pensil tapi gak jadi"
"Iya. Dan inget gak waktu kita latihan smaphore? Kakak tadinya mau jadi pasangan kamu, eh kamu udah diambil duluan sama Ilham. Coba deh kalo sama kakak, dijamin kita bakal bener waktu itu"
"Udah ah, kakak malah ngingetin yang itu, bikin malu aja"
"Va ... ikut Kakak"
Rian sudah berjalan lebih dulu dari tempat duduknya. Ziva yang merasa sedikit lelah setelah menangis hanya bisa mengikutinya pasrah, berjalan di belakangnya dengan jemari yang memegang erat lengan hoodie milik Rian.
"Inget kita hujan-hujanan di lapangan ini?"
"Inget, lah. Yakali gak inget, Kak"
"Kenapa kamu gak mau hujan-hujanan waktu itu?"
"Males aja, basah. Gak bawa baju ganti"
"Terus kenapa hujan-hujanan tadi?"
"Gak apa-apa seru aja"
Rian mulai mengajak Ziva berkeliling satu sekolah sambil bercerita tentang hari-hari menyenangkan dalam ingatannya. Untuk menarik atensi Ziva sangatlah mudah, membicarakan hal yang ia sukai sudah cukup untuk membuatnya melupakan semua hal yang membuat dirinya sedih. Ia sudah kembali pecicilan saat mereka tiba di lapangan tengah lagi. Rian hanya tersenyum dan menanggapi ocehannya sesekali, berusaha menjadi pendengar yang baik.
"Ziva mau main sama Rani, Vika, sama Dayang, ya. Kakak kalo mau sama kakak-kakak yang lain gak apa-apa"
"Inget jangan nangis lagi"
"Iya ah"
Ziva bergabung dengan ketiga temannya, memainkan permainan keramat. ToD, mereka sangat senang sekali memainkan permainan yang sebenarnya membuat diri mereka sendiri gelisah sebab pertanyaan dan tantangan di luar nalar. Rian dan teman-temannya sudah memasuki ruang kelas untuk beristirahat sambil mencharger handphonenya.
"Laper nih. Jajan kuy"
"Ke mana?"
"Mininarket masih buka gak, ya? Beli pop mie aja udah langsung diseduh di sana"
"Emm kita lihat dulu"
Empat serangkai itu berjalan menuju gerbang dan ternyata sudah di kunci. Alhasil mereka memanjat pagar untuk pergi ke warung terdekat saja. Karena jarak minimarket lebih jauh dari sekolah. Setelah membeli apa yang diperlukan mereka kembali ke sekolah. Dan Ziva tidak bisa turun dari atas pagar, sungguh mengherankan padahal sebelumnya aman-aman saja.
"Tolongin, ini turunnya gimana?"
"Injek kotak sampah di bawah kamu tuh"
"Udah. Tutupnya malah penyok tadi"
"Lompat aja"
"Gila ya! Tinggi ini"
"Coba dulu"
Ziva memberanikan diri untuk meloncat sebelum akhirnya mendarat dengan sempurna meskipun agak tergelincir sedikit. Mereka tidak langsung memasaknya melainkan meminta izin kepada para anggota Kabamas. Karena di dapur masih ramai, Ziva dan teman-temannya memasuki ruang kelas. Duduk di belakang Rian dan kawan-kawan. Ziva baru mrnyadari jika tasnya berada di dalam tenda. Ia harus mencari ke sana kemari terlebih dahulu sampai ketemu. Barulah ia kembali ke kelas.
Ziva merebahkan tubuhnya, disusul oleh Rian yang tergeletak di sebelahnya sambil menonton Naruto. Ziva ikut menonton dari sudut matanya. Ziva ingin menonton juga tapi dihindari oleh Rian. Ziva merasa jengkel dan memilih untuk mencharger handphonenya.
"Kak Rian kalo nonton bagi-bagi, Kak"
"Anak kecil gak boleh nonton"
"Nonton yang lain, lah, nobar sesekali"
Rian memberhentikan filmnya dan beralih pada film lainnya, bisa kalian tebak film apa yang diputarkan oleh Rian untuk Ziva? Ziva sampai tak habis pikir saat Rian menonton dengan sangat serius. Ziva yang berada di sebelahnya hanya melihat wajah Rian yang kini berubah seperti anak kecil.
"Frozen, Kak?"
"Kebetulan, kakak belum nonton Frozen 2. Dulu waktu nonton Frozen yang pertama udah mengkhayal punya kekuatan es"
"Eh suka Frozen rupanya?"
"Ya gitulah. Udah nonton?"
"Udah"
"Oke. Dilarang keras untuk spoiler"
Belum sampai di pertengahan film, Rian menggantinya menjadi film horor "Kuyang" atas rekomendasi Ade. Tapi setelah satu setengah jam menonton, tak ada hal mengejutkan sedikitpun karena mereka sibuk membahas hal yang tak penting di dalam film tersebut. Mulai dari gaji peran figuran, berapa bayaran orang yang cuma berlalu-lalang, sampai-sampai mengomentari tindakan sang tokoh dalam film.
"Va, pilih mau film apa"
"Ziva gak bisa milih"
Rian memerhatikan film yang ada di layar handphonenya satu persatu lalu menunjukkan beberapa judul kepada Ziva. Sampai akhirnya mereka lebih memilih untuk menonton animasi komedi. Sejujurnya Ziva mengantuk, tapi tak mungkin jika ia bersandar pada Rian di sebelahnya. Ia mulai mengemil jajanan yang ia beli sebelumnya.
"Gimana kabar kamu sama Ziva, Yan?" tanya Arbi tiba-tiba.
"Entahlah. Sudah lima tahun tapi kayaknya Ziva belum move on, nih," ucap Rian dengan mata yang menatap netra milik Ziva.
"Ih yang bener aja"
"Gak ada niatan buat jadian?"
"Kalo bisa kayak gini, kenapa harus jadian. Iya, kan, sayang?"
"Heh," Ziva menyenggol lengan Rian membuatnya tertawa.
Perasaan Ziva terhadap Rian bukanlah hal yang rahasia lagi. Tapi ketahuilah, Ziva telah menghapusnya meskipun masih tersisa. Akhirnya Ziva terlelap setelah perbincangan panjang malam itu. Rian yang terus memerhatikannya ketika berbicara, saat Ziva diam, Rian akan terus menunggunya berbicara dengan tatapan hangat itu.
- TBC -
Eiyoo ges up lagi yuhuu
Jangan lupa vote, komen, dan share cerita ini yaSampai jumpa di next episode babay!!

KAMU SEDANG MEMBACA
KABAMAS [Selesai]
أدب المراهقينMenang itu, bukan tentang siapa yang mendapatkan medali maupun piala. Bukan pula orang-orang yang menyimpan puluhan piagam di rumahnya. Tapi, menang itu adalah sebuah proses di mana seseorang bertekad untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik dibandi...