Episode 22

18 2 3
                                        

"Pindah?" tanya Rian dan Ziva bersamaan.

Rian berjalan semakin mendekat, mengambil tempat duduk di sebelah Bojes. Bojes juga merupakan senior yang sampai saat ini belum dilantik, sama sepertinya. Bojes berhenti terisak, matanya sudah memerah sejak tadi. Ia melihat sekitarnya, semua teman-temannya merasa sedih akan berita yang ia berikan.

"Pindah kemana, Jes?"

"Ke Bogor. Tapi kalian gak usah sedih dulu, ya. Masih ada waktu sekitaran seminggu lagi buat kita main"

Bojes berniat ingin menenangkan hati semua temannya, akan tetapi hal itu justru membuat mereka memeluk Bojes secara bersamaan. Termasuk Tio, anggota putra tunggal di angkatan ke-7. Meskipun ia baru mengenal Bojes belakangan ini, tapi hatinya juga ikut remuk mendengarnya.

"Yah Kak Bojes, kok, pindah, sih?" tanya Tio.

"Mau gimana lagi? Kakak juga cuma ikut orang tua"

"Hiyaa kita gak bisa latihan bareng lagi dong. Gak bisa main bareng"

Kini berbalik, Bojes yang memeluk Tio. Baginya perpisahan itu adalah awal dari sebuah pertemuan. Setiap perpisahan pasti ada pertemuan, entah itu dengan orang yang baru atau dengan seseorang di masa lalu. Ziva yang menyaksikannya kembali memasuki ruangan, meninggalkan para anggota lebah menghabiskan waktunya di sana.

Saat ia melewati pintu masuk yang terbuka lebar. Di dalam ruangan kecil tersebut, tampak seseorang yang sedang menangis. Tubuhnya menghadap ke arah rak buku dengan bahu yang sudah naik turun. Ziva hendak menghampirinya, tapi sudah didahului oleh Jihan dan Ghina. Mereka berdua adalah sahabat dari Liza, tak pernah terpisahkan.

"Kak Bojes juga udah tau, kok, kalo aku suka sama dia. Tapi gak ada respon apa-apa tuh"

"Bentar lagi Kak Bojes pindah. Gak mau ngungkapin secara pribadi aja? Kemarin sudah diwakilkan, kan?"

"Gak, semuanya sama aja"

Liza semakin terisak, benar-benar menangis. Mungkin saja cintanya hanya sebatas patok tenda. Tak akan pernah terbalas sedikitpun. Liza cepat-cepat menghapus air matanya ketika Bojes dan teman-temannya masuk ke dalam ruangan. Melihat ada bekas air mata dengan hidung yang memerah pada Liza, mereka semua bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

"Kenapa?" tanya Rian begitu sampai di ruangan.

"Stt ... kakak diem aja, ya" ucap Ziva memerintahkan.

"Kenapa memangnya?"

"Sttt ... dibilangin diem"

Kini Rian mengunci bibirnya rapat, memerhatikan Ziva yang saat ini berdiri di sebelahnya. Rasanya ingin sekali ia tertawa melihat jilbab Ziva yang sudah tak beraturan lagi. Tapi, dengan cepat Ziva mencegahnya untuk tertawa.

"Liza kenapa?" tanya Bojes.

"Ah gak apa-apa, kok, Kak"

"Bohong. Kenapa nangis?"

"Ah anu, tadi nonton film sedih"

"Eh kamu bawa hp, ya?!"

"Eng-enggak, anu ..."

"Tuh kelihatan banget bohongnya"

Liza kembali terisak, ditatap sedalam itu oleh Bojes membuatnya semakin merasakan sesak. Bojes yang merasa bahwa tak pernah menyakiti kini terlihat sangat kebingungan. Ia malah memberikan selembar tisu untuk Liza.

"Ah apaan? Dikit banget ngasihnya. Kasih sapu tangan, kek," protes Liza.

"Udah diperhatiin masih aja protes"

"Emang kakak tuh mintanya di protes terus. Kakak beneran, kah, mau pindah ke Bogor?"

"Iya"

"Kenapa mendadak?"

KABAMAS [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang