Ziva yang berdiri di antara mereka hanya diam membisu. Ia tak tahu awal mula permasalahan ini dari mana, mungkin ada satu lirik dadakan yang membuat satu regu tersinggung. Ia diam melihat Dion berjalan pergi dari mereka, ingin rasanya ia menangis saat itu. Ziva salah satu tipikal anak yang lumayan cengeng.
"Yon! Yon! Kita bakal baik-baik aja kalau minta maaf. Kita yang merobohkan stok regu," ucap regu Lebah.
"Gak! Bukan cuma Lebah yang minta maaf. Lili juga harus!"
"Ok fine"
Kedua regu itu berbaris dengan saling berhadapan. Permintaan maaf dimulai dari regu Lebah yang dipimpin oleh Wahyu diikuti yang lainnya, jangan lupakan jabat tangan itu. Begitu pula dari regu Lili dengan melakukan hal yang sama, Adriansyah tertawa saat berjabat tangan dengan Ziva. Melihat raut wajah gadis itu membuatnya ingin tertawa.
"Tangan kakak dingin banget," bisik Ziva.
"'Udah? Selesai? Ingat kata Kak Alvian waktu itu? SMP itu masih ..." tanya Kak Panji.
"Egois!"
"Yaps. Benar sekali. Masa-masa kalian ini masih sangat tinggi egonya, jadi sebisa mungkin kalian mendahulukan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi kalian, bisa?"
"Siap Bisa!"
"Oke. Di lapangan tengah ada anak paskib, ya?"
"Siap iya"
"Yok yel-yel lagi yok ke lapangan tengah!" ajak Dion.
"Jangan dong. Nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena menggangu kenyamanan hahah"
"Karena nyaman itu sangat sulit untuk di dapatkan. Terutama pada diri seseorang"
"Hiyaa bisa-bisanya! Hahahah"
Mereka tertawa seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Masalah yang telah lalu biarlah berlalu, jika terus diingat kapan masalah itu akan selesai? Yang ada malah masalah itu semakin membesar nantinya.
⚜️⚜️⚜️
Hari sudah sangat sore, para anak-anak yang beranjak remaja itu keluar dari gerbang sekolah bersamaan. Tak sedikit pula yang menunggu dan duduk di trotoar hanya demi pulang ke rumah dengan angkutan umum yang tak kunjung lewat. Beberapa diantaranya sudah pulang dengan ojek ataupun dijemput oleh orang tua atau kakak mereka.
Ziva hanya duduk di trotoar sembari melihat ke ujung jalan, wajahnya sedikit cemas. Langit sudah berubah warna menjadi oranye yang dalam waktu singkat akan berganti warna kembali. Ziva hanya bisa menggigit jemarinya dengan berulang kali melihat orang-orang di sekitarnya yang tak juga berkurang. Mereka searah dan semuanya pulang dengan transportasi yang sama.
"Jangan gigit jari gitu ah. Nanti bisa luka," ucap Adriansyah.
"Hah?" tanya Ziva refleks menghentikan aktivitasnya yang tidak berfaedah itu.
"Itu, jarinya gak luka digigit?"
"Ehmm ... eng-enggak tuh"
"Oh ya udah sih"
Ziva yang merasa cemas akhirnya menenggelamkan wajahnya, tak berniat untuk melihat ke arah jalanan yang selalu sama tiap menitnya. Tak ada perubahan, yang ada hanya kekecewaan. Sebenarnya tidak juga, masih banyak keajaiban yang bisa datang kapan saja tanpa diharapkan.
"Ziva mau pulang hiks," ujarnya dengan nada yang bergetar.
"Va ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
KABAMAS [Selesai]
Teen FictionMenang itu, bukan tentang siapa yang mendapatkan medali maupun piala. Bukan pula orang-orang yang menyimpan puluhan piagam di rumahnya. Tapi, menang itu adalah sebuah proses di mana seseorang bertekad untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik dibandi...