Episode 24

19 3 1
                                    

Rian terdiam sejenak, menatap Ziva yang sudah cekikikan tak jelas. Rian mengambil dua utas tali yang sama besar, warnanya putih, tak licin sama sekali. Rian menyatukannya begitu saja antara ujung satu dengan ujung tali lainnya.

"Ini namanya simpul mati, untuk menyatukan antara dua tali yang sama besar dan tidak licin. Simpul ini akan sangat susah untuk dilepas, namanya juga simpul mati"

"Bisa untuk mengikat dua hati, Kak?" tanya Ziva.

"Emm kalo untuk dua hati. Ikatan terkuat adalah akad"

"Apa nih? Masih bocil udah akad akad aja," ucap Arbi yang tiba-tiba muncul dari ruang gudep.

"Tau tuh, simpul kembar dong, Yan," ucap Bonge menyarankan.

"Ah kembar. Gak usah dibahas lagi lah," ucap Rian dengan raut wajah yang langsung berubah begitu saja.

Ziva memerhatikannya, tali yang Rian pegang langsung ia jatuhkan begitu saja dari tangannya. Rian, sensitif jika mendengar kata kembar, karena gadis kembar yang ia sukai pernah menolaknya. Ziva mencoba untuk membuat simpul-simpul layaknya yang diajarkan oleh Rian sebelumnya.

"Simpul mati?" tanya Ziva dalam hatinya.

"Hati Ziva dan Kak Rian bisa terikat dan sulit dipisahkan layaknya simpul mati gak, ya?" batin Ziva dalam hatinya.

Ziva tersenyum sekilas, mengingat tatapan yang diberikan oleh Rian kepadanya. Tatapan yang seolah mengisyaratkan sesuatu. Tapi ini hanya seolah, belum tentu isyarat itu benar adanya.

Rian kembali duduk, kini tidak di hadapan Ziva, ia mencari celah untuk duduk di sebelahnya. Rian mengambil tali yang dipegang oleh Ziva, mengajarkannya dengan perlahan. Mencegah gadis itu merasa kesal karena ulahnya lagi.

"Bisa, kan?" tanya Rian begitu Ziva menyelesaikan simpulnya.

"Iya yeay"

Suasana di dalam ruangan menjadi sepi seketika saat seorang pria dengan baju kaos berwarna hitam datang dan menunggu di ambang pintu. Perawakan wajah yang sangat tegas dengan tatapan tajam yang seolah bisa menghabisi siapa saja yang ingin membuat masalah dengannya.

"Permisi, Pak. Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya Wahyu yang berada tak jauh dari tempat pria itu berdiri.

"Saya ingin mencari anak saya"

"Kalau boleh tahu. Namanya siapa, ya, Pak?"

"Jihan Alisya, apakah ada?"

Wahyu mengedarkan bola matanya, mengamati satu persatu orang di dalam ruangan tersebut. Hingga tampak seorang gadis dengan kulit putih yang tengah duduk di sudut ruangan. Matanya seketika memerah, merasa takut.

"Jihan, kamu dicari sama Ayah kamu," ucap Wahyu.

"Jihan belum mau pulang, Yah"

"Ayo pulang, sudah mau sore," ucap priaitu dengan ukiran senyum di wajahnya.

"Han, kasihan orang tua kamu. Jauh-jauh jemput kamu, kamunya gak mau pulang"

Jihan membereskan perlengkapannya, melangkah gontai untuk menyalami satu persatu seniornya, termasuk Kak Panji yang baru saja kembali setelah menyelesaikan urusannya. Jihan pulang, diantarkan ke depan ruangan oleh teman-temannya.

Satu langkah, dua langkah, beberapa langkah meninggalkan ruangan itu. Jihan menghilang dari pandangan mereka, para anggota melanjutkan aktivitas mereka seperti sedia kala. Belajar, belajar, dan belajar. Ekstrakuikuler itu bukan hanya ajang untuk bermain, tapi bisa juga menjadi tdmpat menemukan jati diri, mengembangkan bakat, dan lain sebagainya.

Ziva bosan, ia bosan dengan tali temali. Rian mengambil tali tersebut dari tangan Ziva, melingkarkan pada lehernya seakan ingin mencekik dirinya sendiri. Dengan cepat Ziva menepis tangan Rian, menatapnya tajam, ia benar-benar tak ingin jika hal seburuk itu terjadi pada senior kesayangannya itu.

"Khawatir, ya?"

"Eng-enggak!"

"Yang barusan?"

"Anggap aja itu gak pernah terjadi, Kak"

Rian tersenyum sekilas lalu mengangguk pelan. Ziva yang berada di sebelahnya hanya bisa tersenyum, mengambil seutas tali yang dipegang oleh Rian lalu menggulungnya. Jam latihan akan segera berakhir, meskipun saat ini jam baru menunjukkan pukul 15.30 WIB.

"Hei! Sini dulu!" teriak Bibi kantin dari dalam kantin.

"Ada apa, Bi?" tanya Dion.

"Ini anjing Bibi, si Mikki udah sembuh. Bibi udah pernah janji loh sama kalian, kalo anjingnya sembuh, Bibi bakal bikin syukuran kecil-kecilan," ucap Bibi Kantin menjelaskan.

Mereka mengingat hari-hari yang lalu. Memang sebelumnya Mikki sakit, anak Pramuka terlalu perhatian pada anjing yang sering mengejar mereka sewaktu latihan. Mereka baru ingat jika Bibi Kantin pernah menjanjikan hal semacam itu kepada mereka. Mereka duduk rapi di dalam kantin, menunggu Bibi Kantin menyuguhkan mereka sesuatu.

"Rahmat! Mau kemana?"

"Pulang"

"Eh nanti dulu. Gak mau makan, gratis nih"

"Beneran?" tanya Rahmat yang sudah meransel tasnya.

"Iya dong"

Tak lama kemudian, Bibi Kantin keluar dengan hidangan nasi kuning. Di dalam piring tersebut berisi nasi kuning, sambal wayang, telur dadar yang diiris tipis-tipis dan tumis mie. Bagi siapapun yang melihatnya pasti langsung merasakan lapar. Ziva mengambil bagiannya, tapi porsinya terbilang terlalu banyak bagi Ziva.

"Banyak banget, gak abis nih pasti"

"Sini oper ke kita aja. Kita siap menampung semuanya," ucap Wahyu dan Dion bersamaan.

"Kak Wahyu kayaknya kurang, ya. Sini Ziva tambahin, ya, Kak"

Wahyu dengan sepenuh hati mengambil sebagian jatah dari Ziva. Mereka mulai berdoa menurut kepercayaan mereka masing-masing. Memakan hidangan yang telah diberikan oleh Bibi Kantin, terlihat anjing dengan corak hitam putih berlarian kesana kemari tanpa henti. Untung saja tidak mengejar siapapun saat ini.

Ziva kekenyangan, begitupun yang lainnya. Mereka bersyukur atas nikmat yang teldh diberikan pada sore ini. Wahyu dan Dion beranjak dari tempat duduknya, mengambil tas ranselnya lalu menyandangnya.

"Kalian mau kemana?" tanya Kak Panji.

"Pulang, Kak"

"Eh emang SMP, ya"

"Apaan kak?"

"Sudah Makan Pulang. Gak bilang terimakasih gitu sama Bibinya? Atau sama anjingnya mungkin"

"Oh iya, Yu. Belum bilang makasih, loh"

"Iya. Sekalian mau rapat dulu sama Mikki. Suruh dia sakit lagi, jadi kalo sembuh kita dapet makan gratis lagi," ujar Wahyu dengan matanya yang berbinar.

"Yayayaya ide yang cemerlang," ucap Dion mengangguk-angguk.

"Sembarangan!" tegas Kak Panji membuat keduanya terpelonjak kaget.

Setelah semuanya menyelesaikan makannya. Bibi Kantin keluar dengan senyuman sumringah di wajahnya. Ia tampak sangat bahagia. Ziva duduk, tak kuat mengangkat tubuhnya lagi. Ah entahlah ia terlalu kenyang hari ini, sehingga Vika membantunya untuk berdiri.

Mereka berjalan menuju gerbang, beriringan tanpa meninggalkan satu sama lain. Dari belakang Rian menjaga Vika dan Ziva secara bersamaan, entah sejak kapan Rian dekat dengan keduanya. Rian berjalan sesekali menolehke belakang, takut ada yang tertinggal. Rian melihat Bonge berlari dari arah ruang ketrampilan, tasnya tertinggal di sana. Seketika Mikki yang semula duduk kini mengejar Bonge, membuatnya berlarian ketakutan.

"Bibi! Mikkinya ngejar, Bi! Bi! Tolong!"

"YA ALLAH, BI! TOLONG! HUAAAA TOLONG!"

- TBC -




Eiyyo ges update lagi setelah lama tidak update ya
Biasa orang sibuk emang begini wkwk, sok sibuk haha

Gimana nih episode terbarunya? Alhamdulillah kali ini mereka gak punya masalah, ya. Mereka baik-baik aja

Kalian harus tungguin terus updatenya ya! Ikutin sampai ceritanya tamat, pasti seru hihi

Sampai jumpa di episode selanjutnya, jangan lupa vote. Babay!

KABAMAS [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang