Wahyu dan Dion serentak menggelengkan kepalanya sambil memasukkan ayam tersebut ke dalam baskom untuk dibersihkan bulu-bulunya. Bonge hanya terdiam sejenak sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal itu.
"Telat. Ayamnya udah mau dibersihin"
"Lagian kamu kemana aja sih, Nge?"
"Anu, itu tadi ke toilet. Eh ngeliat Rian sama Pemas lagi bawa-bawa kayu. Ya udah aku bantu"
"Kok sampai sini gak bawa apa-apa?" tanya Dion.
"Aku cuma bantu ngeliatin. Gak bantu bawa kayunya"
"Yu, halal gak sih kalo kita bunuh ini orang?"
"Ya halal halal aja, sih. Nih pisau kalo mau"
Siang menjelang sore ini mereka habiskan waktu dengan berbagai hal yang memupuk rasa kebersamaan. Lagipula Kak Alvi masih ada kesibukan sehingga ia datang setelah Maghrib nanti. Adzan ashar berkumandang, lekas mereka bubar untuk mengambil peralatan salat dan mengantri untuk berwudhu.
Ziva berjalan ke arah tenda, mengambil mukenah di dalam tasnya dan bersiap-siap menuju ke mushala untuk berwudhu. Ia melihat Dion yang sedang duduk di depan tungku sendirian sambil membenarkan api.
"Kak ayo salat. Bentar lagi dimulai loh salat berjamaahnya," ajak Ziva.
"Hah? Kenapa?"
"Salat, Kak. Kakak gak salat?"
"Enggak, Dek. Kakak non-muslim," jawab Dion singkat membuat Ziva malu sejadi-jadinya.
"Ehh maaf, Kak. Ziva gak tau kalo kakak non-muslim. Maaf, ya, Kak"
"Iya gak apa-apa. Buruan ke sana, nanti ketinggalan salatnya"
"Eh iya, Kak"
Ziva berlari dan benar saja orang-orang sudah menyiapkan tempat di ruang ketrampilan. Berhubung mushala sedang di kunci jadi mereka hanya bisa melaksanakan salat berjamaah di dalam ruang ketrampilan. Ziva berlari memasuki ruang ketrampilan, untung saja masih sempat.
Selesai menunaikan salat ashar, Ziva menutup wajahnya malu mengingat kejadian tadi. Ia benar-benar tidak tahu menahu tentang hak tersebut dan dengan polosnya ia mengajak kakak seniornya tersebut untuk shalat. Ia menyimpan mukenahnya dan kembali ke rombongan untuk mengobrol.
Wahyu, Dion, Bonge, dan beberapa anggota lainnya berkumpul di perapian untuk memanggang ayam yang telah mereka potong tersebut. Dilumuri bumbu dan mulai memanggangnya. Beberapa anggota lainnya juga sudah memakai sarung dengan diselempangkan, memutar musik dan berjoget. Rasanya bukan seperti perkemahan, lebih tepatnya seperti gotong-royong di kebun jika sudah seperti ini.
Sebelum adzan Maghrib berkumandang, mereka masih sempat melaksanakan apel sore berhubung Kak Alvi sudah datang bersama salah seorang temannya. Tak sesuai perkiraan, Kak Alvi datang lebih cepat dan membuat banyak kegiatan acak-acakan sejenak. Apel dilaksanakan berulang kali karena terdapat banyak kesalahan, maklum kakak senior kelas 8 juga masih butuh banyak ilmu, sedangkan senior kelas 9 tinggal sedikit.
"Abang!" teriak seorang anak kecil dari pintu gerbang.
"Permisi, Kak. Boleh izin keluar sebentar? Ada orang tua, Kak"
"Silahkan"
Wahyu segera berlari menghampiri ibunya yang berdiri di gerbang bersama adiknya. Setelah berbincang sebentar, Wahyu lantas berlari menuju tenda dan meletakkan sesuatu di sana.
"Ada apa Wahyu?"
"Siap itu, Kak. Orang tua mengantarkan bekal"
"Oh begitu. Silahkan kembali ke barisan, Wahyu"
KAMU SEDANG MEMBACA
KABAMAS [Selesai]
Teen FictionMenang itu, bukan tentang siapa yang mendapatkan medali maupun piala. Bukan pula orang-orang yang menyimpan puluhan piagam di rumahnya. Tapi, menang itu adalah sebuah proses di mana seseorang bertekad untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik dibandi...