Episode 25

20 3 1
                                        

Hari ini, Jumat. Ulangan Tengah Semester akan segera dilaksanakan, kemungkinan minggu depan. Para anggota Pramuka yang laki-laki sudah sejak tadi berangkat ke masjid untuk menunaikan ibadah salat Jumat. Sedangkan anggota putri berada di ruang ketrampilan, membereskan ruangan yang penuh dengan debu hari itu, karena paginya ruangan ini digunakan untuk kelas olahraga, seperti biasanya.

Ziva berjalan ke sana kemari mencari sapu. Ia sudah berkeliling di lapangan atas, tapi hasilnya nihil. Kini ia berjalan menuju lapangan tengah, berharap salah satu kelas yang berada di sana masih terbuka.

"Duh kok cepat banget, ya, ditutupnya"

Ia berlari kecil memeriksa satu persatu ruang kelas. Semua kelas telah terkunci dengan gembok yang menggantung di sana. Kecuali satu kelas, kelas 8 B. Ia segera berlari dan mengambil sapu yang diletakkan di bawah tangga papan tulis. Tempat untuk menyembunyikan sapu paling aman di sekolah ini dari gangguan orang-orang bertangan panjang.

"Dapet juga. Kakak kakak yang punya sapu ini, Ziva pinjam sebentar, ya. Nanti dibalikin," ucap Ziva meskipun tak ada seorang pun di ruang kelas itu.

"Iya pinjem aja, dek," balas Ziva menirukan suara kakak kelas.

"Oke terimakasih kakak"

Ia berlari menuju ruang keterampilan secepat mungkin. Sesampainya di depan ruang keterampilan, ia langsung menyapu bagian depan ruangan tersebut yang telah dipenuhi oleh dedaunan sirsak yang kering. Ziva melihat ke arah pohon sirsak itu, tak pernah ada buahnya. Hanya dedaunan rimbun yang menutupi batangnya yang kecil.

"Duh, kok, jadi kepikiran mau kemah ke hutan, ya," ucap Ziva sambil melihat pepohonan yang tampak dibalik tembok.

Sekolah ini dikelilingi kebun di bagian belakangnya. Wajar saja jika terlihat banyak pepohonan yang sangat rimbun. Perkemahan di hutan bukankah sangat menyenangkan? Melihat dedaunan yang sangat hijau dan rimbun, suara gesekan antar pohon mungkin terdengar memekakkan, tapi tak seberisik wilayah perkotaan dengan suara klaskon kendaraan. Perkemahan di hutan adalah impian Ziva saat ini.

"Ekhem ... Bu. Ngapain ngelamun?" tanya Vika yang sekarang berdiri tegak di samping Ziva.

"Eh? Enggak ngelamun, kok"

"Ah masa?"

"Iya ih"

Ziva lanjut menyapu dedaunan kering itu dan mengumpulkannya di ujung teras. Memasukkannya ke dalam kotak sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan sampah yang terletak di depan sekolah. Setelahnya ia pergi mengembalikan sapu yang semula ia pinjam. Kini tak sendiri, ia ditemani oleh Vika.

Ziva melihat ruang TU dengan pintu yang sedikit terbuka. Ia tak ingin mengintip, takut jika sesosok hitam legam muncul dari balik pintu dengan gigi yang runcing. Otaknya terlalu berfantasi hingga tak bisa membaur dengan realita. Dengan segera ia menaruh sapu itu di tempat semula.

Kaki-kaki itu berjalan, menelusuri setiap ubin yang tertata rapi. Baik Ziva maupun Vika sibuk memerhatikan sekolah yang sangat sepi di siang hari. Keduanya terkejut ketika indra pendengaran mereka menangkap suara seorang lelaki yang cukup berat dari arah ruang TU. Denyut jantung itu semakin berdebar kencang saat pintu itu terbuka semakin lebar.

"Nak, sini dulu," panggil seorang lelaki dari dalam ruangan.

"Astaghfirullah!" ucap mereka berdua.

"Oh maaf, bikin kaget, ya?"

Vika dan Ziva berjalan menuju ruang TU. Menghampiri salah satu staf TU, namanya Pak Hadi. Ia adalah salah satu staf TU yang sudah lama bekerja di sini dan sempat menjadi pembina Pramuka beberapa tahun silam. Pramuka juga sempat maju saat dipegang olehnya.

"Iya, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya Vika.

"Oh ini. Bisa bantu ambil kopi bapak di kantin?"

"Kopi yang sudah di seduh?"

"Iya"

"Baik, Pak"

Keduanya segera berlari menuju kantin atas. Ziva telah duduk di kursi kantin, menunggu Vika yang memanggil-manggil Bibi kantin. Tak ada sahutan apapun, hanya Mikki yang berlarian kesana kemari di lapangan. Ziva melihat ke arah gerbang, Bibi kantin dan anak perempuannya baru saja pulang dari membeli beberapa keperluan untuk berdagang esok hari. Ziva bangkit lantas membantunya.

"Sini, mbak. Biar saya bantuin," ucap Ziva menawarkan bantuan.

"Oh boleh-boleh. Tolong angkat kesana, ya"

Ziva mengangkat kardus-kardus yang dirasa bisa ia bawa. Sedangkan Vika sudah menunggu kopi Pak Hadi yang akan dibuatkan dengan segera oleh Bibi Kantin. Ziva terduduk lagi di atas kursi sembari melihat kearah kolam ikan yang terletak di samping kantin, juga di samping kelasnya. Matanya beredar mengikuti kemanapun ikan-ikan kecil itu pergi hingga tak sadar jika pesanan Pak Hadi telah siap.

"Ayo, Va. Jangan lihatin ikan terus"

"Oh udah siap. Ayo"

Mereka berjalan, menuruni tiga buah anak tangga untuk ke lapangan tengah. Keduanya berjalan memasuki ruang TU, menghampiri Pak Hadi yang telah duduk menghadap komputer di ujung ruangan. Tak ada suara selain keyboard yang diketik, sangking fokusnya Pak Hadi terhadap layar besar di hadapannya hingga yak sadar jika dua orang telah memasuki ruang ini.

"Permisi, Pak. Ini kopinya, maaf sudah membuat bapak lama menunggu. Tadi ada sedikit kendala"

"Oh, terimakasih, ya, Nak. Taruh di meja aja"

Vika langsung meletakkan gelas tersebut di atas meja. Pak Hadi berhenti, meregangkan otot-otot tubuhnya, menggerakkan jemarinya yang mulai kaku. Seharian menghadap komputer sangatlah membuat penat, perlu sedikit istirahat untuk mengembalikan kondisi tubuh.

"Oh, ya. Kalian berdua sudah pilih ekskul?"

"Oh sudah, Pak"

"Ekskul apa?"

"Pramuka," ucap keduanya kompak.

Pak Hadi sedikit terkejut, tampak jelas dari sorotan matanya. Ia melihat keduanya satu persatu secara bergantian. Pak Hadi tersenyum sekilas dengan tatapan yang mulai rileks.

"Kenapa Pramuka?"

"Karena apa, ya? Untuk mendisiplinkan diri, mencari teman, mencari pengalaman," ucap Vika.

"Karena ikut-ikutan, sih, lebih tepatnya hehe," ucap Ziva jujur.

"Kenapa harus Pramuka? Banyak tuh ekskul yang lebih baik, lebih layak, lebih aman pastinya"

Pak Hadi berkedip, ia mengusap wajahnya gusar seakan memori masa lampau berjalan sekilas dalam pandangannya.

"Kalau bapak sarankan. Tinggalkan ekskul Pramuka, cari yang lebih aman dari itu. Untuk saat ini, Pramuka benar-benar tidak layak, Nak," ucap Pak Hadi penuh dengan keseriusan.

"Bapak tidak akan menjelaskan panjang lebar. Toh, nanti kalian juga akan tahu dengan sendirinya. Pilihan ada di tangan kalian, jadi pikirkan baik-baik"

Ziva menyernyit kebingungan, apa yang dimaksud Pak Hadi? Apa yang sebenarnya terjadi di sekolah ini? Di Pramuka? Satu hal yang terlintas dalam benaknya bahwa Pramuka sedang tidak baik-baik saja selama beberapa generasi ini. Sebuah plang tergeletak di sudut ruangan, berdebu dengan beberapa coretan kata-kata tak mengenakkan, terlebih lagi dengan spidol berwarna merah. Plang besi itu bertuliskan "KABAMAS".

- TBC -













Eiyyo ges ini baru awal, ya. Kira-kira apa ya yang terjadi di sana? Akankah mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi?

Nantikan terus kelanjutannya, sampai jumpa di episode selanjutnya.

Jangan lupa vote. BABAY!!



KABAMAS [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang