-I-01

331 26 7
                                    

SENJA. Ada perasaan aneh setiap kali matahari terbenam di ufuk timur. Aku merasa, ada seseorang yang memperhatikanku di sana. Atau mungkin menungguku datang. Tapi entahlah, mungkin itu hanya sekedar perasaan. Ya, perasaan yang membuatku memaksa seseorang mengantarku ke luar dinding kota, untuk hanya menatap matahari terbenam di atas bukit. Aku bukan orang melankolis, yang suka melihat senja, mendengar musik puitis, atau bersantai di puncak gunung. Seperti yang aku katakan, aku hanya merasa, perasaan aneh saja. Dorongan aneh yang menggerakkan tubuhku untuk bergerak melihat matahari dengan langit jingga.

"Waktu habis." Sebuah suara terdengar dari arah belakang.

Aku berbalik ke arahnya dengan tatapan sinis. Matahari belum benar-benar tenggelam dan dia sudah mengajakku pergi.

"Bisakah kau duduk saja di sampingku dan melihat matahari terbenam?" tanyaku, lalu kembali mengarahkan wajahku ke arah matahari.

"Tidak akan pernah," katanya. "Ini membuang-buang waktu."

Seharusnya dia pun merasakan apa yang aku rasakan, mengingat kami adalah saudara kembar. Tapi sepertinya hanya aku saja yang merasakan dorongan atau perasaan ini? Kenapa? Karena kami berbeda jenis kelamin?

"Ada apa sih, dalam matahari terbenam?" tanyanya. Untuk kesejuta kalinya. Aku sampai tidak ingat sudah berapa kali dia menanyakan itu.

"Kau tidak akan mengerti," jawabku, yang juga sudah ke sejuta kalinya.

"Argh..." desahnya. "Kau tidak akan mengerti. Kau tidak akan tahu. Kau tidak merasakan apa yang aku rasakan," cibirnya, dengan meniru nada suaraku saat berbicara. "Bagaimana aku mau mengerti, bagaimana aku mau merasakan, kalau kau tidak menjelaskan secara detail apa yang sebenarnya terjadi."

Aku memang sudah sering menjelaskan padanya, tentang apa yang aku rasakan, dan dorongan aneh untuk melihat matahari terbenam. Tapi dia selalu tidak mengerti. "Aku kan sudah bilang, aku seperti merasakan sesuatu. Seperti ada seseorang yang memanggilku. Atau memanggil kita berdua, tapi kau tidak merasakannya. Seolah ada seseorang yang selalu memperhatikan kita dari jauh." Aku juga selalu mengatakan itu ketika dia meminta penjelasan.

Aku tahu, pasti sekarang dia sedang memutar matanya. Kenapa laki-laki selalu tidak menggunakan perasaannya?

"Tepatnya siapa orang itu?"

Aku menggeleng, dan dia mendesah. Sepertinya dia mengusap wajahnya dengan kasar. Tapi entahlah, aku tidak memperhatikannya.

"Menurutmu, di timur ada apa?" tanyaku.

"Hhhmmm... benua Eropa?" tebaknya. "Kerajaan Empiria? Tunggu, kerajaan Empiria sedikit ke timur laut. Mungkin maksudmu lautan? Atau mungkin ... kita."

"Kenapa jawabnya 'kita'?" tanyaku.

"Karena orang-orang timur pasti menganggap kita berada di timur. Bumi bulat, kan? Semua pasti kembali ke titik nol. Jadi, orang-orang timur, pasti menganggap kita lebih timur lagi. Relativitas. Tergantung kau ada di mana."

Dia berbicara seolah apa yang dikatakannya adalah hal yang benar. Pantas saja nilai geografinya F saat sekolah. "Berdasarkan waktu, kita berada di barat, bukan di timur. Profesor Nathan." Sambil memutar mataku.

"Argh... terserah kau saja. Aku ingin pulang," rengeknya. Telingaku mendengar dia menendang batu pasir.

"Mataharinya belum benar-benar tenggelam," kataku, mengingatkannya.

"Kau ingin matahari terbenam seperti apa lagi? Langit sudah semakin gelap." Suaranya sudah semakin kesal. Pasti saat sampai di rumah nanti, dia akan bersikap seolah dia adalah pangeran, dan menyuruh-nyuruhku seperti babu. "Kau sudah lebih dari tahu mereka akan datang di malam hari."

Ya, aku sudah tahu itu. Aku juga tahu dia membawa senjata yang bisa menghancurkan mereka. Dia selipkan di pinggangnya-berdoa saja semoga senjata itu tidak menembak secara tiba-tiba ke batang masa depannya. Aku memutuskan beranjak dan mendekatinya yang sudah berwajah masam.

"Sekarang kau sudah ingin pulang?" tanyanya.

Aku berjalan melewatinya tanpa mengatakan apa-apa.

"Ah, awas saja. Kalau besok kau memintaku mengantarmu ke mari lagi, aku akan pura-pura tuli," gerutunya.

Kami berjalan menuruni bukit batu pasir yang cukup terjal. Melewati ilalang setinggi enam puluh sentimeter yang tidak terlalu tebal. Berwarna kuning kecoklatan. Langit belum benar-benar gelap, aku masih bisa melihat dengan cukup jelas. Aku juga bisa melihat motor trail merahnya yang terparkir seratus meter di kaki bukit. Tapi dia berkata, "Hati-hati, jangan sampai jatuh. Lihat pijakan kakimu dengan baik."

"Jangan berkata seolah-olah kau ada seorang kakak," kataku.

"Hei, aku yang menjagamu sejak pacarmu pergi ke medan perang. Kakak maupun adik tidak berlaku di antara kita."

Sebenarnya aku tidak punya pacar. Aku bahkan tidak tahu hubungan seperti apa yang pantas menggambarkan aku dan Gio. Sejauh yang kuingat, dia adalah kakak laki-laki yang aku harapkan. Tapi aku tidak tahu dia menganggapku seperti apa. Yang jelas dia selalu baik, perhatian, dan menjagaku. Sampai akhirnya dia memilih masuk ke Organisasi Pemburu Iblis setelah lulus sekolah. terakhir kali kami bertemu enam bulan yang lalu, saat tahun baru.

Aku sampai lebih dulu di motor trailnya. Beberapa detik kemudian, dia sampai. "Kau mau mengenakan jaketku?" tanyanya sebelum menaiki motor. Sudah siap melepaskan jaket kulit double rider hitam yang ia kenakan. Karena udara gurun biasanya memang cukup ekstrim. Di siang hari, udara bisa 36-39 derajat. Dan di malah hari, suhu bisa turun ke sembilan sampai belasan derajat saja. Sangat dingin. Dan cukup aneh, dia bisa tahan mengenakan jaket kulit di tengah-tengah suhu yang panas.

"Tidak perlu, ini masih sore, udara masih cukup hangat."

Dia hanya merespons dengan kembali mengenakan jaketnya dengan benar, dan langsung duduk ke atas motor. Sedangkan aku, malah terguncang. Ini selalu terjadi ketika ada sesuatu yang mengancam diriku, dari radius nol sampai 150 kilometer. Aku juga bisa mendengar suara sesuatu yang mengancamku dari jarak itu, jika aku sangat fokus.

Adikku menyadarinya. Dia kembali turun dari motor dan berdiri tepat di sampingku, memegang bahuku. Barulah di saat seperti ini, dia sangat peka. "Ada apa?" tanyanya.

Mataku terpejam. Aku mencoba mempertajam apa yang aku rasakan, agar aku bisa melihat gambaran lebih jelas. Gambaran ini mungkin tidak akan sejelas ketika melihat langsung, hanya seperti sebuah penglihatan... atau mimpi. Dan ada batas waktu untuk melihatnya, seperti sebuah kilasan kejadian. Mungkin paling lama aku bisa menahannya selama lima menit, tapi setelah itu aku akan sangat pusing.

Aku melihat makhluk berbentuk seperti manusia dan hewan. Berjumlah tiga puluh....

"Selatan. Jumlah tiga puluh. Lima belas diantarnya bertumbuh manusia, sisanya hewan. Lima rusa, tiga serigala, tiga primata, dua beruang, dan dua singa betina. Berlari dengan kecepatan 40 kilometer per jam, dengan jarak sekitar 15 kilometer dan terus mendekat. Mereka akan sampai sekitar tiga puluh menit," kataku, yang sudah membuka mata.

Nathan menarikku naik ke atas motor. Dia langsung menyalakannya, berbelok dan langsung tancap gas menuju gerbang tenggara dari benteng cincin luar kota. Setidaknya butuh sepuluh menit berkendara untuk sampai di sana. Dan sebenarnya, membawa keluar kendaraan dari cincin luar kota adalah salah satu kejahatan. Tapi tenang saja, kami tidak akan dipenjara. Para penjaga cincin mengenal keluarga kami-semacam hak istimewa, begitulah katanya.

Jalanan menuju ke tempat tadi itu tidak bisa dikatakan mulus. Aku memeluk perutnya sekuat mungkin, berusaha untuk tidak terlepas meskipun kepalaku membentur punggungnya berkali-kali. Nathan menjalankan motornya seperti dikejar setan. Dan yang mengejar kami memang semacam setan. Atau lebih tepatnya, zombie yang suka meminum darah manusia saat malam hari, menginfeksi setiap makhluk yang darahnya dihisap sampai menjadi seperti dirinya.

Ilmuwan menyebut itu, mutasi vampir.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang