-I-41

29 11 25
                                    

AKU tidak tahu, tapi dari suaranya saja, aku bisa merasakan kecantikannya. Suaranya benar-benar lembut dan merdu. Membuatku ingin terus mendengarnya. Seolah dia adalah pembawa berita atau pembawa acara di televisi, atau mungkin penyanyi.

"Ya!" balas Immanuel.

Aku langsung merasa tidak nyaman. Aku mencoba merapikan pakaian, wajah, rambut, dan apa saja yang bisa aku rapikan. Aku takut aku sangat kotor, atau ada sesuatu yang salah dari diriku.

"Pakaianmu sudah rapi, bahkan tidak kusut," katanya. "Bahkan rambutmu juga terlihat halus. Wajahmu juga. Hanya kurang tersenyum dan tenang saja." Sambil tersenyum ke arahku.

Aku menatapnya tanpa berkedip. Apa yang dia katakan sedikit menenangkanku. Oke, aku harus santai dan tersenyum. Tapi tersenyum seperti apa? Ada banyak jenis senyuman!

Immanuel kembali mengernyit. "Kenapa wajahmu jadi seperti itu lagi?"

"Aku harus tersenyum seperti apa?"

Dia tertawa kecil dan terlihat geli. "Oh." Lalu dia mengangguk-angguk, seolah perilaku yang aku lakukan sangat lucu. "Seperti saat kau tersenyum ke arahku saja. Terlihat manis dan imut. Sebenarnya kau selalu terlihat manis dan imut. Kau tidak perlu khawatir seperti ini."

Oh Tuhan. Aku tidak kuat lagi. Immanuel sebanyak ini memujiku.l dalam satu hari. Pujian memang terdengar biasa dan sederhana, tapi jika itu dikatakan oleh orang yang kau suka, rasanya jauh sekali dari kata biasa dan sederhana.

Aku terlalu fokus menatap Immanuel dan mendengar pujiannya, sampai tidak sadar jika nyonya rumah sudah membukakan pintu dan menyunggingkan senyum, yang sangat sempurna ke arahku. Sekarang aku tahu dari mana senyuman Immanuel berasal. "Halo," sapanya, masih terdengar lembut dengan sentuhan ramah. Dia tidak terlihat tua, padahal Immanuel saja sudah kepala dua, seharusnya minimal umurnya akan menginjak empat puluh. Tapi dia terlihat sepuluh tahun lebih muda dari umur seharusnya.

"Halo," balasku. Hampir saja aku menggigit pipi bagian dalamku karena gugup. Aku harus lebih bisa mengendalikan diri agar bibirku tidak tiba-tiba berdarah.

"Kau pasti Nathalia," tuduhnya. "Aku Liliana Topaz. El sudah bercerita tentangmu." Sambil tersenyum. Dia gambaran dewi dalam bayanganku. Pantas menjadi ibu dari laki-laki berwajah malaikat seperti Immanuel.

Aku bingung harus bagaimana. Tapi aku tersenyum ke arahnya lalu mendongak sekilas ke arah Immanuel, ibunya juga menyebutnya dengan panggilan itu.

"Ayo, silakan masuk," ujarnya, sambil membukakan jalan untukku. "Semoga rumah kami membuatmu nyaman." Dia sering tersenyum. Tidak salah sih. Dia pemilik toko dan sering melayani pembeli. Otomatis, dia harus memiliki karakter yang murah senyum dan ramah. Jika pedagang tidak memiliki sifat seperti itu, para pembeli tidak akan betah atau malah tidak ingin datang untuk membeli.

Aku mengangguk. Lalu berjalan beberapa langkah di belakangnya, dan Immanuel berjalan dua langkah di belakangku. Aku memperhatikannya dari belakang. Tubuhnya terbalut dress sederhana lengan panjang, membentuk tubuhnya, terlihat begitu pas. Tidak ada lipatan baju atau apapun, seolah pakaian itu memang dibuat khusus untuknya. Warna rambutnya sama seperti Immanuel, tapi sedikit lebih gelap, tergerai sempurna sampai tulang belikat. Dia lebih tinggi dariku, kurang lebih lima belas sentimeter, sekitar 165 sentimeter.

Pikiranku malah penuh oleh pertanyaan, topik obrolan apa yang akan nyonya rumah pilih? Aku takut kehidupan dan kepribadianku tidak menarik. Aku sedang tidak mengerjakan sesuatu, tidak kuliah, tidak bekerja, apa yang bisa aku banggakan? Apa yang bisa dijadikan sebagai topik pembicaraan? Bagaimana jika dia kehilangan simpatinya padaku? Dia, yang awalnya suka, berubah tidak suka denganku karena aku terkesan seperti seorang perempuan dengan masa depan suram? Mereka orang berpendidikan dan kaya, secara teknis, seharusnya mereka juga memiliki lingkaran pertemanan yang status sosialnya sama seperti mereka. Bukan gelandangan sepertiku.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang