KATA Nathan, aku sedang membuat pola yang tidak dia mengerti. Selama seminggu penuh, aku pergi ke kota setiap tengah hari, setelah selesai menyelesaikan tugas dari Bibi. Pergi beli roti lapis, gelato, lalu pergi ke alun-alun kota-tepatnya perpustakaan.
"Aku tidak membuat pola," sanggahku.
"Ini namanya kau sedang membuat pola kegiatan. Pagi-pagi kau mengerjakan tugas yang diberikan Bibi, tengah hari kau pergi ke kota, membeli roti lapis, gelato, lalu duduk di depan perpustakaan sampai sore. Tujuh hari penuh!"
Tak salah jika Nathan mengetahui apa yang aku kerjakan selama seminggu terakhir ini. Kadang dia menemaniku dari awal berangkat atau hanya menjemputku satu jam sebelum pulang.
"Jika kau bosan, kau tidak perlu mengikutiku. Lagi pula aku baik-baik saja."
"Aku tidak bosan. Aku hanya mengatakan kau sedang membuat pola."
Kuputar mataku seolah berkata, terserah.
Seminggu terakhir memang serasa seperti sebuah siksaan. Aku berharap bisa melihatnya lagi. Rasanya seperti terjebak dalam sebuah momen yang membuatmu ingin kembali lagi merasakannya. Dia seperti candu. Seperti yang Nathan bilang, aku membuat pola yang sama seperti apa yang aku lakukan di hari ketika aku bertemu dengannya. Berharap kembali melihat mata birunya yang indah, atau rambutnya yang tebal mengkilap seperti cokelat hitam leleh, atau bertatapan lagi.
Aku merasa senang dengan hanya membayangkannya saja. Namun, membayangkan berbeda dengan melihatnya secara langsung. Dia seperti menghilang begitu saja. Aku bahkan memberanikan diri untuk bertanya kepada penjaga perpustakaan yang menatapku tidak ramah di hari ke tiga.
"Cowok yang mana?" tanyanya.
"Yang... berada di hadapanku, dua hari yang lalu, ketika Anda mengusir saya." Jujur, aku merasa malu, melebihi saat aku telanjang, ketika menanyakan itu. Kenapa juga aku berpikir dia mengingatku? Karena aku meneteskan gelato di koleksi buku kesayangannya? Bisa jadi. Lagi pula aku sekarang tidak lagi membawa gelato itu masuk, aku selalu menghabiskannya sebelum masuk ke perpustakaan. Atau karena aku selalu datang di waktu yang sama setiap hari? Di sisi lain, aku juga tidak bisa menyerah begitu saja, demi menatap lagi pemandangan yang impresif, segalanya harus aku lakukan. Meskipun itu artinya memutuskan urat malu.
"Mungkin maksudmu El," katanya. "Cowok, yang waktu itu berkacamata, yang sedang melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran. Dia tidak terlihat sejak kemarin. Tidak seperti biasanya. Karena tidak ada satu hari pun dia lewatkan, selama tiga tahun terakhir ini, untuk datang ke mari."
Dia dokter muda. Ya Tuhan!
"Tidak salah kau menanyakannya. Beberapa gadis yang ingin mengenalnya lebih jauh juga seperti itu. Saranku, jangan terlalu berharap. Tidak ada satu pun perempuan di kota ini yang menarik baginya. Sampai tidak ada lagi perempuan yang berusaha mendekatinya."
Kata-katanya seperti silet saja. "Ya... tentu saja. Saya hanya bertanya namanya."
"Ada lagi yang bisa aku bantu?" tanyanya, kemudian.
"Aku ingin meminjam buku yang aku baca waktu itu." Aku langsung memejamkan mata. Bodohnya aku mengatakan itu. Orang yang ingin meminjam buku pasti mengambil dulu bukunya di rak sebelum mendatangi penjaga perpustakaan. Aku juga tidak mengambil apa-apa ketika datang, kemarin. Hanya berkeliaran di dalam bangunan empat lantai yang dipenuhi buku, mencari seseorang yang tidak ada.
"Oh, tentu saja," katanya. "Kau baru ingin membacanya. Sambil menjilati gelato lagi?" Sambil menyunggingkan seringai.
Pertanyaannya itu seperti sebuah sindiran. Dia tahu aku tidak mengingat judulnya. Aku buru-buru menghentikan gerakannya dengan berkata, "Hhmm, biar saya cari sendiri." Seraya menyunggingkan senyuman. Senyuman paling memalukan sepanjang masa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berawan #1
Vampire[VAMPIR] [Tamat] [13+] "Aku mencintai salah satu jenis dari mereka yang disebut vampir. Makhluk rupawan yang memiliki bentuk tubuh seperti malaikat untuk menarik mangsanya. Aku mencintai seseorang yang seharusnya tidak aku cintai. Karena harga yang...