-I-04

120 16 4
                                    

MATAHARI pagi masuk melalui sela-sela gorden, tapi bukan itu yang membangunkanku dari tidur nyenyak. Suara pertengkaran di kamar sebelah yang membuatku terbangun dan buru-buru beranjak ke kamar mandi.

"Bibi telat membangunkanku!!" Aku mendengar suara Nathan membentak.

"Terus apa gunanya alarmmu ini?!" Bibi balas membentak. "Kau ini sudah delapan belas tahun, Nathan. Kau sudah masuk Organisasi Pemburu Iblis Malam. Dan kau sudah seharusnya bertanggung jawab dengan dirimu sendiri dan apa pun yang sudah kau pilih. Jangan selalu bergantung kepada Bibi!"

"Argh...." Nathan menggeram. Aku bisa membayangkan ekspresinya yang sedang menggaruk kepala dan berjalan menuju kamar mandi dengan kasar.

Setelah aku sampai di kamar mandi, aku tidak lagi mendengar pertengkaran mereka. Karena tahu, dia akan....

"Nathalia, kau sudah bangun?" Aku mendengar suaranya di kamarku.

"Aku sedang mandi!" kataku. Padahal sebenarnya aku baru mulai, bajuku saja belum sepenuhnya dilepaskan.

"Seorang gadis seharusnya bangun lebih pagi," katanya, mulai berceramah. "Setiap pagi kau bangun di jam-jam seperti ini. Bagaimana nanti setelah menikah? Suamimu akan menjadi pengangguran, dipecat dari tempat kerjanya karena selalu datang terlambat, gara-gara istrinya suka bangun siang. Belum lagi kau harus membuat sarapan untuk anak-anakmu. Apa kau menginginkan anak-anakmu kelaparan di sekolah? Semua kegiatan dimulai saat pagi. Kau harus mulai bertanggung jawab dengan semua yang akan kau jalani. Bersihkan kamarmu, masukan pakaian kotor ke dalam keranjang, bereskan tempat tidurmu saat bangun, lap semua permukaan barang...."

Dan itulah latar suara yang menemaniku setiap kali menggosok gigi, dan sampai selesai mandi di pagi hari. Bibi lebih cerewet dari ibunya, mendiang nenekku. Dulu Nenek lah yang mengurusku dan Nathan sejak kecil sampai dia meninggal ketika umur kami tujuh. Barulah setelah itu, Bibi selalu datang setiap pagi untuk bekerja di rumah kami. Ayah yang memintanya. Katanya dia tidak mau anak-anaknya diurus oleh orang lain. Alhasil, adiknya sendiri yang melakukan itu.

Suami Bibi juga tidak masalah, asalkan dia sudah disediakan sarapan setiap pagi, dan semua keperluan anak-anaknya sudah disiapkan. Dulu dua anaknya, sepupu-sepupuku, sering ikut datang ke mari. Mereka lima sampai tujuh tahun lebih tua dariku dan Nathan. Dan karena mereka berdua laki-laki, mereka lebih sering bermain dengan Nathan ketimbang denganku. Sekarang mereka sudah menikah dan tinggal di luar kota.

Ketika aku selesai mandi, Bibi sudah tidak ada di kamarku. Sepertinya aku terlalu fokus mandi sehingga tidak menyadari suara cerewetnya yang tiba-tiba menghilang. Penampakan kamarku juga agak sedikit berubah. Aku sudah merasa jika Bibi adalah maniak kebersihan sejak aku kecil. Dia tidak pernah tahan melihat satu helai pakaian berserakan, satu debu saja di atas meja, atau seprei yang kusut-jauh lebih buruk dari Nenek.

Nathan sedang menuruni tangga dengan buru-buru ketika aku keluar dari kamar. Ia sudah mengenakan kaos olahraga ketat lengan pendek yang ada lambang kepada serigala-yang seperti sedang melolong dihiasi lingkaran di bagian dada kirinya, jaket bertudung warna hitam yang memiliki lambang yang sama di punggungnya, dan topi hitam yang juga berlambang sama-pakaian dengan lambang Organisasi Pemburu Iblis Malam. Tak lupa mengenakan celana cargo hijau yang dimasukkan ke dalam sepatu boot kulit mengkilap. Dia harus berlatih seperti seorang kadet setiap hari Senin sampai Jumat di sana, selama enam bulan, sebelum misi pertamanya.

Ketika aku resmi menginjak lantai pertama, dia sudah duduk dan mulai memakan habis bubur gandum berisi potongan buat pisang, stroberi, dan bluberi. Diselingi meminum susu cokelat hangat. Kurang dari lima menit, dia sudah selesai. Dia beranjak dengan membawa tas olahraganya. "Dah, Nat."

"Dah, Nathan," kataku. Lalu memandanginya pergi.

"Bibi, aku berangkat!!" teriaknya ketika membuka pintu depan.

"Kau tidak mau mencium bibimu dulu?" tanya Bibi.

Nathan mendesah. "Aku sudah terlambat!"

Lalu Bibi berlari kecil menuju pintu depan. Dia mendekatkan wajah Nathan lalu menciumi pipinya. Tak lupa mengusap-usap kepala Nathan yang tertutup topi, sambil mengatakan doanya, "Semoga kau selalu dilindungi dan diselamatkan-"

Nathan memotong ritual itu. "Aku sudah terlambat." Dia berjalan mendekati motornya.

"Pakai helmmu!" kata Bibi.

Kudengar Nathan berdecak kesal. Lalu suara mesin motornya terdengar, melaju meninggalkan rumah. Aku merasakan keheningan yang mendadak. Ngomong-ngomong tidak ada makanan di depan meja yang aku tatap.

"Kenapa kau duduk-duduk saja di sana, Nathalia?" tanya Bibi.

Aku mendesah. Siksaan dimulai.

"Segera ke dapur dan mulai membuat makanan untuk dirimu sendiri," katanya sambil berjalan menuju dapur. "Jika ada bahan makanan yang habis, ayo, kita segera pergi ke swalayan untuk membelinya. Tapi sebelum itu, kau harus merendam dulu cucian sebelum dibilas di mesin. Tunggu, tanggal berapa ini? Oh, iya, sepuluh Juli, ini jadwal mengganti seprei, sudah sebulan. Dan setelah itu, kau harus membersihkan dan mengelap semua-"

Sudah cukup. Aku tidak mau menulis semua yang dia katakan. Kupikir dia tidak sedang mendidikku menjadi seorang istri yang baik, melainkan Asisten Rumah Tangga yang cekatan.

Benar, di keluargaku, perempuan kurang... dihargai. Hanya ada tiga pilihan, masuk perguruan tinggi, bekerja, atau menikah. Dan tentu saja aku tidak mau ketiganya. Impianku lebih besar dari pada itu. Tapi sayangnya, tidak ada yang mendukungnya. Karena tradisi, tentu saja.

Setelah lulus sekolah, laki-laki di keluargaku bebas melakukan apapun untuk kehidupannya. Mau masuk perguruan tinggi, bekerja, menikah, menjadi pemburu iblis malam, semuanya. Asalkan ketika umur mereka menginjak dua puluh, mereka harus pergi dari rumah. Anak perempuan pun begitu, kecuali jika mereka masuk perguruan tinggi.

Aku harus mencari pekerjaan agar aku tidak perlu menikah. Tapi mencari pekerjaan untuk orang sepertiku, cukup... sulit. Selama sebulan terakhir aku mencari ke berbagai tempat, tapi rata-rata gaji untuk pekerjaan yang aku bisa, di bawah standar. Apalagi biaya hidup ketika keluar dari rumah orang tua, cukup memakan banyak uang-kau harus memiliki tempat tinggal, biaya makan, sehari-hari, dan sebagainya.

Jika dalam waktu satu tahun aku belum memiliki pekerjaan juga, aku akan menggunakan rencana B. Aku akan memilih masuk perguruan tinggi. Karena jika setelah umur dua puluh aku masih tidak memiliki pekerjaan, aku harus menikah. Yang mana itu adalah mimpi buruk terburuk bagi perempuan sepertiku.

Menurutku, menikah tidak seburuk itu. Tapi, rasanya aneh, ketika aku harus melepaskan begitu saja momen-momen indah yang biasanya aku lakukan. Maksudku, setelah menikah, banyak yang harus aku pikirkan selain diriku sendiri, kan? Suami, anak-anak, dan kepentingan keluarga berada di nomor satu. Aku hanya belum siap dengan semua itu. Mungkin itu tidak akan jadi masalah jika aku mendapat pria kaya dan sangat aku cintai, jika tidak?

Oke, aku sudah terdengar matre. Maka aku sudahi saja.

Siksaanku berakhir pukul dua belas tiga puluh tengah hari. Saat itu aku baru bisa keluar untuk makan siang. Aku tidak punya banyak teman saat di sekolah. Sebenarnya banyak, aku hanya tidak punya teman dekat, hanya Gio dan Ema saja yang mau menjadi teman dekatku. Jadi rencananya, setelah selesai makan siang di salah satu kedai yang menjual pasta, aku akan pergi ke kantor Ayah saja. Untuk bertemu Ema, dan menanyakan kabar Gio. Aku sudah tidak bertelepon dengannya empat hari.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang