-I-55

22 11 0
                                    

RASANYA capek juga berjalan cepat seperti dikejar-kejar penagih utang. Tidak sampai berkeringat seperti sedang berolahraga sih, tapi tetap saja rasanya melelahkan.

"Dia belum terlihat," kata Nathan. "Aku juga tidak mencium baunya." Dengan hidungnya yang kembang-kempis.

"Oh, sekarang kau juga adalah anjing pelacak?" ejekku. Kami memang sampai di perpustakaan lebih awal dari biasanya. Kami juga tidak mampir ke toko-toko seperti biasanya. Tidak membeli sandwich, atau burrito, enchilada, bahkan gelato. Itu mungkin salah satu penyebabnya. Ditambah Nathan menyuruhku berjalan sangat cepat agar bisa cepat kembali. Jangan sampai Bibi tahu kami pergi keluar. Aku selalu berkelakuan baik selama ini, begitu pula dengan Nathan. Kami selalu, sebenarnya lebih ke mencoba, menuruti segala perintah atau apa-apa yang dikatakan Ayah dan Bibi. Reputasi kami tidak boleh tercoreng.

Nathan menyipitkan matanya ke arahku karena tidak suka dikatai anjing pelacak.

"Jadi kita menunggu saja?" tanyaku, "Sampai kapan?"

"Sampai dua jam ke depan. Jika dia tidak datang, kita pulang," jawabnya. Wajahnya terlihat tegas saat dia menatap sekitar. Seolah bersiap-siap bertemu lawan tawurannya.

Aku mengangguk untuk merespons, lalu ikut mencari ke sekeliling. Wajah Immanuel seharusnya mudah dikenali meskipun dia berbaur dengan masyarakat. Namun aku tidak kunjung menemukan wajah sempurna itu. "Kau akan benar-benar mematahkan jari tangannya jika dia tidak jujur?" Tiba-tiba aku teringat apa yang dia katakan tempo hari, membayangkan kejadian itu benar-benar terjadi membuatku merasa mulas.

"Tentu saja," katanya, tanpa melirikku.

"Bagaimana kalau dia memang manusia biasa?"

Dia berdecak kesal. "Kau sudah menanyakan pertanyaan itu ribuan kali."

"Belum juga sampai sepuluh kali," balasku, tidak terima.

Dia malah terdiam dan menatap sekitar, seolah tidak ingin menjawab dan terkesan menghindari pertanyaanku.

"Jadi bagaimana?" tanyaku, lagi.

"Bagaimana apanya?"

"Bagaimana jika dia adalah manusia biasa, dan kau sudah mematahkan jari tangannya sampai putus? Kau bisa dijatuhi hukuman, tahu! Sekarang kau sudah delapan belas, kau sudah harus bertanggung jawab dengan apa yang kau lakukan terhadap orang lain. Memutuskan jari tangan seseorang hanya untuk membuktikan dia vampir atau bukan terlalu kekanak-kanakan." 

"Tidak akan terjadi. Aku tidak akan mematahkannya sampai putus jika dia manusia biasa yang sangat mirip dengan vampir."

Dia tidak mau mengaku gagal jika perkiraannya salah. "Kalau begitu percuma dong!" kataku. "Kau mencelakai seseorang hanya untuk membuktikan sesuatu yang seharusnya tidak dibuktikan."

"Dia dokter, kan? Seharusnya patah satu jari tangan bukanlah hal yang harus dikhawatirkan. Dia bisa merawat dirinya sendiri."

Aku belum pernah mendengar jika dokter merawat dirinya sendiri ketika sakit. Aku mengalihkan pandanganku dari Nathan. Setiap kali berbicara dengannya, tidak pernah berjalan mulus, darahku selalu mendidih dan melesat ke ubun-ubun.

Hidung Nathan kembang-kempis setelah semilir angin dingin dari utara menerpa kami dengan lembut. Wajahnya terlihat aneh.

"Ada yang salah?" tanyaku. "Kau mencium bau tulang atau kucing?" Tersenyum miring mengejeknya.

Dia tidak menghiraukan kata-kataku. "Dia di sini."

"Immanuel?"

"Dia tidak menggunakan parfum yang biasanya dia gunakan untuk menyamarkan aroma tubuh aslinya," katanya, masih mengendus-endus, matanya melebar.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang