-I-48

27 12 7
                                    

BIBI membawaku ke pelukannya. Aku balas memeluknya dengan erat dan menangis sejadi-jadinya, sampai membasahi bahu Bibi.

"Kalian bertengkar lagi?" tanya Bibi, sambil melirikku dan Nathan silih berganti. Nathan masih membelakangi kami, dia malah berjalan beberapa langkah ke sana ke mari sambil berkacak pinggang, dan kepalanya sedikit mendongak ke atas. "Kalian ini seperti anak kecil saja. Kalian sudah delapan belas. Saatnya untuk dewasa. Belajar untuk berdiplomasi. Bukan berteriak-teriak seperti di stadion sepakbola."

Tidak ada yang merespons kata-katanya. Tenggorokanku sudah kehabisan kata-kata, dan aku tidak bisa berbicara saat menangis seperti ini. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi kepada Nathan. Apa dia puas sudah mengatakan semua itu padaku? Atau dia malah ingin membuatku menangis lebih kencang lagi dengan umpatannya?

"Ayo cepat masuk," suruh Bibi.

Tiga menit berikutnya, kami sudah berada di meja makan. Aku duduk berhadapan dengan Nathan. Bibi berada di sisi lain meja, seolah menjadi pihak netral atau penengah di antara kami. Mataku memandangi meja, atau memandangi hal lain yang ada di bagian bawah. Aku tidak mau mendongak dan menatap siapapun, lagipula aku belum sepenuhnya berhenti menangis, masih ada isak tangis yang tersisa. Dua kantung kertas yang tadi aku bawa berada di tengah-tengah meja, tidak sampai menghalangi pandangan kami jika kami ingin menatap satu sama lain, tapi cukup untuk membuat area kosong di depan meja tidak terlalu sepi.

"Jadi, apa yang terjadi?" tanya Bibi. "Bukankah kemarin Ayah kalian sudah membuat semacam 'pembicaraan' saat makan malam? Apa itu tidak berhasil? Kalian masih menyimpan dendam kepada satu sama lain?" Dia bertanya sambil melirik kami silih berganti, aku bisa melihatnya dari ekor mataku.

"Nathalia?" tanya Bibi, melirikku dengan intens.

Aku tidak menjawab apa-apa. Bahuku masih bergetar karena sisa tangisan. Hidungku dipenuhi oleh ingus, dan setengah penglihatanku terhalang oleh air mata. Aku hanya memandangi dua kantung kertas di tengah-tengah meja.

Bibi mengembuskan napasnya. "Nathan?" Lalu dia melirik Nathan.

Aku sedikit melirik ke arah Nathan. Tidak aku sangka, dia juga sedang melirikku, tatapan mata kami bertemu. Aku sedikit terkejut dengan apa yang aku lihat. Mata Nathan memerah, begitu juga dengan hidungnya, dan semacam ada sedikit air yang menggenang di pelupuk matanya. Apa tadi Nathan juga menangis? Menangis karena apa? Karena dia telah mengatakan hal buruk padaku?

Pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan itu malah membuat hatiku terasa perih. Maksudku, awalnya kukira Nathan merasakan hal yang sebaliknya, bahwa dia puas telah mengatakan itu padaku atau semacamnya. Tapi setelah aku menatap wajahnya, yang aku rasakan, dia sama-sama merasakan apa yang aku rasakan. Aku lupa kami kembar. Aku buru-buru mengalihkan pandangan darinya, karena rasanya air mataku kembali meluruh. Aku tidak sanggup, aku merasa bersalah.

Bibi kembali mengembuskan napasnya. "Dengar, masalah ini tidak akan pernah selesai, jika salah satu di antara kalian tidak ada yang mau bicara. Kenapa masalah ini berlarut-larut? Karena kalian tidak mau bicara. Apa salahnya mendengarkan satu sama lain? Lalu mencoba mengerti perasaan dan cara pandang masing-masing? Permasalahan yang kalian hadapi ini tidak akan membesar seperti sekarang."

Bibi mulai berceramah. Aku masih sibuk mengusap air mata, karena kembali keluar gara-gara merasakan perasaan Nathan, yang tercermin dari wajahnya. "Kemarahan, pertengkaran, dan apapun yang terjadi di antara kalian, hanya akan menyebabkan penyesalan di lain waktu. Percaya kepada Bibi, karena Bibi pernah ada di posisi kalian. Merasa pilihan diri sendiri paling tepat, emosi karena jiwa muda yang menggebu-gebu, tidak mau mendengarkan orang lain karena ego, dan sifat kekanak-kanakan lainnya. Bibi ingin kalian menghadapi ini lebih dewasa. Bibi ingin kalian lebih baik daripada Bibi. Belajar dari kesalahan Bibi, agar tidak perlu mendapatkan hal serupa yang Bibi rasakan di masa lalu. Kalian tidak perlu merasakan langsung sebuah pelajaran untuk mendapatkan pengalaman." Sambil menatap kami silih berganti.

Berawan #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang