JANTUNGKU berdegup kencang, kepalaku berdenyut-denyut. Sepertinya tekanan darahku meningkatkan karena situasi ini. Memikirkan langkah apa yang seharusnya aku lakukan. Ayah dan Paman Carlo memang sering mendengar aku dan Nathan bertengkar, tapi pertengkaran kami biasanya tidak berlarut-larut seperti ini. Apalagi Nathan tidak menempel denganku lagi, jika Ayah tahu itu, dia akan memarahi Nathan. Itu akan memperburuk keadaan. Kenapa juga Bibi harus mengatakan jika Nathan selalu ada di kamar? Padahal bilang saja Nathan sedang berada di kamarnya, sudah, cukup, begitu saja, tidak perlu ada penjelasan lainnya yang membuat ini semakin rumit.
"Dia dan Nathan," jelas Bibi, sambil menunjukku dengan dagunya.
"Kalian belum berbaikan?" tanya Paman Carlo.
"Jadi Nathan tidak menjalankan tugasnya untuk menjagamu setelah hari pertengkaran itu?" tanya Ayah.
"Sudah aku bilang, dia selalu ada di kamarnya, dan Nathalia selalu pergi ke kota sendirian," jelas Bibi.
Jujur saja, meskipun nada suaranya seolah menunjukkan jika dia sedang membelaku--seolah bangga kalau aku berhasil pergi sendirian ke kota dan selamat, Bibi sama sekali tidak membantuku. Dia malah membuat semuanya semakin berantakan. Dan aku semakin bingung harus mulai membuat pembelaan dari mana. Sidang di meja makan ini tidak menguntungkanku. Aku membutuhkan pengacara!
Ayah berdiri dari meja makan dan langsung berjalan ke lantai atas. Tenagaku seperti langsung terhisap habis. Aku merosot di kursi. Mungkin pasrah adalah hal yang terbaik. Meskipun sebenarnya aku berharap Ayah tidak mengetahuinya sampai kami berdua berdamai, tapi apa mau dikata.
Tidak sampai tiga menit, Ayah kembali turun tanpa mengubah ekspresi wajahnya. Sorot matanya juga masih tetap sama seperti tadi, menunjukan kemarahan. Nathan berjalan tiga langkah di belakangnya sambil menggaruk-garuk kepala, rambut dan wajahnya kusut, terlihat seperti baru bangun tidur ketimbang sudah belajar.
Ketika mereka berdua sudah duduk, Ayah langsung berkata, "Langsung saja. Sebelum makan malam dimulai. Ayah tidak tahu, pertengkaran seperti apa yang membuat kalian berdua seperti ini." Dia melirikku dan Nathan silih berganti. Aku dan Nathan pun saling bertatapan selama beberapa saat. "Tapi Ayah benar-benar kecewa."
Ini lebih buruk dari amarahnya. Mungkin tidak menyerang mental, karena tidak ada teriakan, tapi kata-kata itu menusuk langsung ke dalam jiwaku. Ayah kecewa! Dan aku bahkan tidak hamil!
"Tuan Muda, Ayah benar-benar kecewa kepadamu. Kau lebih memilih rasa marahamu ketimbang keselamatan saudarimu sendiri."
Nathan menunduk, tapi matanya mengerling ke arahku sekilas. Terlihat menyeramkan di balik bulu matanya yang tebal.
"Dan Nona Muda." Ayah beralih melirikku. "Bukan hal yang bagus seorang perempuan berjalan-jalan di kota sendirian tanpa pendamping."
Sebagai terdakwa, aku tidak bisa melakukan pembelaan atau mengajukan banding.
"Dia tidak pulang malam, jangan terlalu keras padanya. Biarkan dia pergi sesekali ke kota sendirian. Toh dia hanya pergi membeli makanan dan kadang-kadang pergi ke perpustakaan," kata Bibi. Akhirnya ada pembelaan yang aku inginkan dari Bibi.
Nathan langsung melirikku dengan tatapan jijik dan tidak suka, seolah aku baru saja melakukan hal yang kotor. "Ya, lagi pula dia tidak sendirian."
Oke, dia yang mulai. Aku balas menatapnya, tapi tatapanku sepertinya lebih mirip tatapan seseorang yang baru saja tertangkap basah melakukan sebuah kejahatan, ketimbang seseorang yang menunjukkan kemarahan. Aku menggeleng pelan ke arah Nathan, mencoba menghentikannya. Sorot matanya menunjukkan seolah dia berkata, ya aku akan mengatakannya.
"Apa maksudmu dia tidak sendirian, Tuan Muda?" tanya Ayah.
"Nathalia selalu berangkat sendirian, Nathan. Jangan mengada-ada," kata Bibi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Berawan #1
Vampire[VAMPIR] [Tamat] [13+] "Aku mencintai salah satu jenis dari mereka yang disebut vampir. Makhluk rupawan yang memiliki bentuk tubuh seperti malaikat untuk menarik mangsanya. Aku mencintai seseorang yang seharusnya tidak aku cintai. Karena harga yang...